Kalau orang menyebut nama ini yang terbayang adalah satu kawasan jeans dengan segala atribut dan keramaiannya. Cihampelas sendiri tampaknya telah memantapkan diri sebagai salah satu karakteristik kota Bandung.
Cerita Cihampelas dengan jeansnya, semua orang telah mengenalnya. Tapi kalau kemudian timbul pertanyaan, seperti apa Cihampelas tempo dulu, bagaimana pendduduknya lalu kenapa dinamakan Cihampelas, satu pengetahuan lain tentunya.
Mengenal Cihampelas tempo dulu terutama awal terbentuknya kawasan ini tidak terlepas dari sejarah perjalanan kota Bandung. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Cihampelas yang termasuk dalam kawasan Bandung Utara dikondisikan untuk pemukiman orang Eropa. PAda masa itu gedung-gedung gaya romantik Belanda banyak berdiri dikawasan ini.
Penamaan kawasan dan jalan dengan nama Cihampelas diambil berdasarkan nama kolam pemandian yang ada di daerah ini, yakni kolam pemandian Cihampelas.
Pada saat pembuatan kolam, disekitar tempat tersebut banyak terdapat pohon Hampelas (sejenis pohon berdaun kasar dan bisa digunakan sebagai penggosokI. Sumber air yang digunakan untuk mengisi kolam berasal dari sekitar pohon tersebut hampelas tersebut.
KOlam renang yang identik dengan jalan Cihampelas ini, kini masih dipergunakan walaupun wujudnya telah berubah seiring kemajuan jaman.
Sekitar Tahun 1987-an satu demi satu rumah tinggal dikawasan ini berpindah tangan baik secara sistim beli maupun sewa. Perpindahan tangan tersebut ternyata menandai dimulainya kawasan Cihampelas sebagai salah satu tempat yang mencirikan kota Bandung, selain Cibaduyut sebagai kawasan sepatu.
Kehidupan Cihampelas berubah, karena ternyata wisata dan pariwisata bukan hanya dapat menyuguhkan keindahan alam atau kekayaan suatu daerah, melainkan segala potensi yang layak dijual.
Kawasan Jeans di Cihampelas sendiri gebrakannya dimulai pada tahun yang sama dengan berdirinya satu buah toko. Setelah dirasakan reaksinya bagus, kemudian mereka mengajak rekan-rekan dari pengusaha pabrik dan distributor untuk membuka usaha ditempat ini. Semakin besar minta pengusaha yang ingin membuka toko menyebabkan banyak rumah tinggal yang dikomersilkan.
Jalan CIhampelas kini tak pernah sepi. Memasuki kawasan ini ibarat memasuki kawasan yang penuh dongeng. BAgaimana tidak, kalau tiap toko memakai nama yang kerap mengingatkan kita pada tokoh-tokoh heroik seperti Superman, Rambo, Ultraman atau juga Sapu Lidi, Korek Api, Kupu-kupu sampai Maharani. tentu saja semua ini bertujuan untuk menarik minat pembeli.
Dan sekarang bila anda tengah berjalan keluar masuk toko dengan tangan yang sarat belanjaan, menghayallah sedikit kemasa lalu. Dimana noni-noni Belanda pernah menjadikan tempat ini sebagai ajang bercengkerama, berjalan menikmati matahari, taman-taman bunga tanpa diganggu kebisingan. Bahkan bisa jadi kawasan Cihampelas tempo dulu merupakan tempat menyenangkan bagi pasangan kekasih. Siapa tahu? Bukankah BAndung dikenal sebagai Paris Van Java !!..
Welcome
Sabtu, 30 Januari 2010
Misteri Dokumen Gilchrist
Isu Dewan Jendral tahun 1965 yang menyulut pada Pemberontakan 30 September, ternyata masih simpang siur. Hal ini ditambah dengan adanya sebuah dokumen rahasia yang mengungkapkan konspirasi asing dalam menggulingkan pemerintahan Sukarno.
Bila menurut Wikipedia:
Dokumen Gilchrist (bahasa Inggris:Gilchrist document) adalah sebuah dokumen yang dahulu banyak dikutip surat khabar pada era tahun 1965 yang sering digunakan untuk mendukung argumen untuk keterlibatan blok Barat dalam penggulingan Soekarno di Indonesia. Namun dokumen tersebut kemungkinan besar palsu atau sebenarnya tidak ada. Dokumen ini konon sebenarnya berasal dari sebuah telegram dari Duta Besar Inggris di Jakarta yang bernama Andrew Gilchrist yang ditujukan kepada Kantor Kementerian Luar Negeri Inggris. telegram ini mengacu pada rencana gabungan intervensi militer AS-Inggris di Indonesia.
Pertama kali keberadaan dokumen ini diumumkan oleh Soebandrio, Menteri Luar Negeri Indonesia masa itu sewaktu dalam perjalanannya ke Kairo, Mesir, setibanya di Kairo, Kedutaan AS berusaha agar mendapatkan foto salinan dokumen tersebut dan Kedutaan AS di Kairo menyimpulkan bahwa dokumen tersebut dinyatakan sebagai palsu, dan "Dokumen Gilchrist" kemudian disebut sebagai sebuah pemalsuan dalam pemerintahan AS. Diskusi internal di administrasi AS yang mengikuti di balik pemalsuan tersebut dan saat itu Soebandrio merangkap jabatan sebagai kepala Biro Pusat Intelijen (BPI), yang membawahkan kesatuan intel di tiga angkatan, kepolisian negara, kejaksaan serta intelijen Hankam.
Kemudian hari, seorang agen rahasia Ceko yang bernama Vladislav Bittman yang membelot pada tahun 1968 menyatakan bahwa biro agensinya yang melakukan memalsukan dokumen. dan Bittman mengaku ikut bertanggung jawab untuk kampanye terhadap warga negara Amerika Serikat dan distributor film AS di Indonesia yang dekat dengan Soekarno yakni Bill Palmer.
Kumpulan surat-surat dari duta besar Inggris Sir Andrew Gilchrist masih berada pada arsip Churchill di Churchill College, Cambridge University. Beberapa dari dokumen tersebut masih tersimpan dalam status diklasifikasikan sebagai rahasia. Dengan demikian spekulasi tentang kemungkinan Inggris berperan dalam penggulingan Soekarno masih terus berlanjut, meskipun Denis Healey, Sekretaris pada Kementerian Pertahanan Inggris pada tahun 1965 menyatakan pada tahun 2000 bahwa Inggris tidak terlibat akan tetapi Healey secara pribadi tidak menampik adanya kemungkinan keterlibatan itu.
Menurut Subandrio dalam bukunya
Hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal, muncul Dokumen Gilchrist. Dokumen ini sebenarnya adalah telegram (klasifikasi sangat rahasia) dari Duta Besar Inggris untuk Indonesia di Jakarta Sir Andrew Gilchrist kepada Kementrian Luar Negeri Inggris. Dokumen itu bocor ketika hubungan Indonesia-Inggris sangat tegang akibat konfrontasi Indonesia-Malaysia soal Borneo (sebagian wilayah Kalimantan). Saat itu Malaysia adalah bekas koloni Inggris yang baru merdeka. Inggris membantu Malayia mengirimkan pasukan ke Borneo.
Saya adalah orang yang pertama kali menerima Dokumen Gilchrist. Saya mendapati dokumen itu sudah tergeletak di meja kerja saya. Dokumen sudah dalam keadaan terbuka, mungkin karena sudah dibuka oleh staf saya. Menurut laporan staf, surat itu dikirim oleh seorang kurir yang mengaku bernama Kahar Muzakar, tanpa identitas lain, tanpa alamat. Namun berdasarkan informasi yang saya terima, surat tersebut mulanya tersimpan di rumah Bill Palmer, seorang Amerika yang tinggal di Jakarta dan menjadi distributor film-film Amerika. Rumah Bill Palmer sering dijadikan bulan-bulanan demonstrasi pemuda dari berbagai golongan. Para pemuda itu menentang peredaran film pornoyang diduga diedarkan dari rumah Palmer.
Isi dokumen itu saya nilai sangat gawat. Intinya: Andrew Gilchrist melaporkan kepada atasannya di Kemlu Inggris yang mengarah pada dukungan Inggris untuk menggulingkan Presiden Soekarno. Di sana ada pembicaraan Gilchrist dengan seorang kolega Amerikanya tentang persiapan suatu operasi militer di Indonesia. Saya kutip salah satu paragraf yang berbunyi demikian: rencana ini cukup dilakukan bersama 'our local army friends.'
Sungguh gawat. Sebelumnya sudah beredar buku yang berisi rencana Inggris dan AS untuk menyerang Indonesia. Apalagi, pemerintah Inggris tidak pernah melontarkan bantahan, padahal sudah mengetahui bahwa dokumen rahasia itu beredar di Indonesia. Saya selaku kepala BPI mengerahkan intelijen untuk mencek otentisitas dokumen itu. Hasilnya membuat saya yakin bahwa Dokumen Gilchrist itu otentik.
Akhirnya dokumen tersebut saya laporkan secara lengkap kepada Presiden Soekarno. Reaksinya, beliau terkejut. Berkali-kali beliau bertanya keyakinan saya terhadap keaslian dokumen itu. Dan berkali-kali pula saya jawab yakin asli. Lantas beliau memanggil para panglima untuk membahasnya. Dari reaksi Bung Karno saya menyimpulkan bahwa Dokumen Gilchrist tidak saja mencemaskan, tetapi juga membakar. Bung Karno sebagai target operasi seperti merasa terbakar. Namun sebagai negarawan ulung, beliau sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kecemasan. Menurut penglihatansaya, tentu Bung Karno cemas. Saya menyimpulkan, Bung Karno sedang terbakar oleh provokasi itu.
Masih banyak perdebatan mengenai dokumen ini. Tapi semoga kebenaran sejarah dapat terungkap pada akhirnya, supaya anak anak Indonesia tidak diajarkan sejarah yang salah.
Bila menurut Wikipedia:
Dokumen Gilchrist (bahasa Inggris:Gilchrist document) adalah sebuah dokumen yang dahulu banyak dikutip surat khabar pada era tahun 1965 yang sering digunakan untuk mendukung argumen untuk keterlibatan blok Barat dalam penggulingan Soekarno di Indonesia. Namun dokumen tersebut kemungkinan besar palsu atau sebenarnya tidak ada. Dokumen ini konon sebenarnya berasal dari sebuah telegram dari Duta Besar Inggris di Jakarta yang bernama Andrew Gilchrist yang ditujukan kepada Kantor Kementerian Luar Negeri Inggris. telegram ini mengacu pada rencana gabungan intervensi militer AS-Inggris di Indonesia.
Pertama kali keberadaan dokumen ini diumumkan oleh Soebandrio, Menteri Luar Negeri Indonesia masa itu sewaktu dalam perjalanannya ke Kairo, Mesir, setibanya di Kairo, Kedutaan AS berusaha agar mendapatkan foto salinan dokumen tersebut dan Kedutaan AS di Kairo menyimpulkan bahwa dokumen tersebut dinyatakan sebagai palsu, dan "Dokumen Gilchrist" kemudian disebut sebagai sebuah pemalsuan dalam pemerintahan AS. Diskusi internal di administrasi AS yang mengikuti di balik pemalsuan tersebut dan saat itu Soebandrio merangkap jabatan sebagai kepala Biro Pusat Intelijen (BPI), yang membawahkan kesatuan intel di tiga angkatan, kepolisian negara, kejaksaan serta intelijen Hankam.
Kemudian hari, seorang agen rahasia Ceko yang bernama Vladislav Bittman yang membelot pada tahun 1968 menyatakan bahwa biro agensinya yang melakukan memalsukan dokumen. dan Bittman mengaku ikut bertanggung jawab untuk kampanye terhadap warga negara Amerika Serikat dan distributor film AS di Indonesia yang dekat dengan Soekarno yakni Bill Palmer.
Kumpulan surat-surat dari duta besar Inggris Sir Andrew Gilchrist masih berada pada arsip Churchill di Churchill College, Cambridge University. Beberapa dari dokumen tersebut masih tersimpan dalam status diklasifikasikan sebagai rahasia. Dengan demikian spekulasi tentang kemungkinan Inggris berperan dalam penggulingan Soekarno masih terus berlanjut, meskipun Denis Healey, Sekretaris pada Kementerian Pertahanan Inggris pada tahun 1965 menyatakan pada tahun 2000 bahwa Inggris tidak terlibat akan tetapi Healey secara pribadi tidak menampik adanya kemungkinan keterlibatan itu.
Menurut Subandrio dalam bukunya
Hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal, muncul Dokumen Gilchrist. Dokumen ini sebenarnya adalah telegram (klasifikasi sangat rahasia) dari Duta Besar Inggris untuk Indonesia di Jakarta Sir Andrew Gilchrist kepada Kementrian Luar Negeri Inggris. Dokumen itu bocor ketika hubungan Indonesia-Inggris sangat tegang akibat konfrontasi Indonesia-Malaysia soal Borneo (sebagian wilayah Kalimantan). Saat itu Malaysia adalah bekas koloni Inggris yang baru merdeka. Inggris membantu Malayia mengirimkan pasukan ke Borneo.
Saya adalah orang yang pertama kali menerima Dokumen Gilchrist. Saya mendapati dokumen itu sudah tergeletak di meja kerja saya. Dokumen sudah dalam keadaan terbuka, mungkin karena sudah dibuka oleh staf saya. Menurut laporan staf, surat itu dikirim oleh seorang kurir yang mengaku bernama Kahar Muzakar, tanpa identitas lain, tanpa alamat. Namun berdasarkan informasi yang saya terima, surat tersebut mulanya tersimpan di rumah Bill Palmer, seorang Amerika yang tinggal di Jakarta dan menjadi distributor film-film Amerika. Rumah Bill Palmer sering dijadikan bulan-bulanan demonstrasi pemuda dari berbagai golongan. Para pemuda itu menentang peredaran film pornoyang diduga diedarkan dari rumah Palmer.
Isi dokumen itu saya nilai sangat gawat. Intinya: Andrew Gilchrist melaporkan kepada atasannya di Kemlu Inggris yang mengarah pada dukungan Inggris untuk menggulingkan Presiden Soekarno. Di sana ada pembicaraan Gilchrist dengan seorang kolega Amerikanya tentang persiapan suatu operasi militer di Indonesia. Saya kutip salah satu paragraf yang berbunyi demikian: rencana ini cukup dilakukan bersama 'our local army friends.'
Sungguh gawat. Sebelumnya sudah beredar buku yang berisi rencana Inggris dan AS untuk menyerang Indonesia. Apalagi, pemerintah Inggris tidak pernah melontarkan bantahan, padahal sudah mengetahui bahwa dokumen rahasia itu beredar di Indonesia. Saya selaku kepala BPI mengerahkan intelijen untuk mencek otentisitas dokumen itu. Hasilnya membuat saya yakin bahwa Dokumen Gilchrist itu otentik.
Akhirnya dokumen tersebut saya laporkan secara lengkap kepada Presiden Soekarno. Reaksinya, beliau terkejut. Berkali-kali beliau bertanya keyakinan saya terhadap keaslian dokumen itu. Dan berkali-kali pula saya jawab yakin asli. Lantas beliau memanggil para panglima untuk membahasnya. Dari reaksi Bung Karno saya menyimpulkan bahwa Dokumen Gilchrist tidak saja mencemaskan, tetapi juga membakar. Bung Karno sebagai target operasi seperti merasa terbakar. Namun sebagai negarawan ulung, beliau sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kecemasan. Menurut penglihatansaya, tentu Bung Karno cemas. Saya menyimpulkan, Bung Karno sedang terbakar oleh provokasi itu.
Masih banyak perdebatan mengenai dokumen ini. Tapi semoga kebenaran sejarah dapat terungkap pada akhirnya, supaya anak anak Indonesia tidak diajarkan sejarah yang salah.
Kamis, 28 Januari 2010
Penembakan Mallaby
Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)
HARI Selasa, 30 Oktober 1945. Menjelang sore, kontak senjata masih terjadi antara pejuang yang dikenal dengan sebutan “arek-arek Suroboyo” melawan tentara Sekutu. Beberapa kali masih terdengar suara tembakan dari gedung Internatio ke arah pejuang yang berada di sekitar Jembatan Merah. Para pejuang sudah bersabar, Namun berusaha mengendalikan diri untuk tidak membalas tembakan dari Sekutu itu.
Biro-kontak sedang menyiapkan utusan dari pihak Inggris yang akan memerintahkan penghentian penembakan dari gedung Internatio oleh pasukan Sekutu itu.
Semula, Brigjen Mallaby sendiri yang menyanggupi untuk masuk ke dalam gedung. Tetapi anggota biro-kontak ada yang ragu. Ketika itu, para pejuang kita tidak percaya begitu saja kepada Sekutu-Inggris. Sebab kelicikan mereka sudah berulangkali terjadi. Sudah tiga kali dilakukan perjanjian, tiga kali pula pihak Inggris melakukan pelanggaran.
Moncong senjata masih terlihat dari lobang jeruji dinding gedung Internatio mengarah ke luar. Sewaktu-waktu dari moncong senapan itu dimuntahkan peluru yang mengarah kepada anak bangsa di Bumi Surabaya. Ketika itu anak-anak muda dari kampung-kampung Surabaya benar-benar siap tempur berada di sekitar gedung Internatio. Gedung kuno itu sudah dikepung dari segala arah.
Dengan semangat “bonek” (bondho nekad – modal semangat), ada yang menggunakan bambu runcing, senjata rampasan dari serdadu Jepang, ada juga yang membawa gobang, parang dan segala macam senjata tajam, termasuk clurit. Mereka ini menunggu komando. Apabila ada perintah, pasti mereka akan membabibuta menyerbu pasukan bersenjata di dalam gedung Internatio.
Di dalam gedung, pasukan Inggris khawatir diserbu. Sementara dari luar gedung, para pemuda juga was-was ditembak tentara Sekutu dari dalam gedung.
Saat rombongan biro-kontak berjalan di dekat gedung itu, kelihatan moncong senjata bergerak ke arah anggota biro-kontak dari Indonesia. Keberadaan Mallaby di sini diperlukan sebagai perisai – semacam tameng agar bisa mengerem kebrutalan tentara Inggris.
Ketika dilangsungkan perundingan kilat biro-kontak di pinggir jalan, diputuskan anggota biro-kontak yang akan diutus masuk ke dalam gedung, adalah Kapten Shaw.
Di antara pemuda yang ikut menyaksikan perundingan itu berteriak, “jangan yang tua Pak, suruh yang muda saja…!”. Maksudnya, jangan Mallaby yang, tetapi perwira yang muda saja. Akhirnya, memang Kapten Shaw yang diutus.
Kapten Shaw didampingi Moehamad, kemudian sebagai jurubahasa ikut TD Kundan (warganegara keturunan India yang ikut berjuang bersama Arek Suroboyo). Mereka bertiga berjalan bersama-sama menuju gedung Internatio.
“Jangan lama-lama ya! Cukup sepuluh menit saja menyampaikan perintah”, ujar Residen Soedirman. Moehammad mengangguk sembari berjalan menuju gedung Internatio.
Saat ke tiga orang ini berjalan menuju ke dalam gedung, Mallaby menunggu di dalam mobilnya. Ia didampingi Kapten Smith dan Kapten Laughland.
Gugur atau Tewas?
Mobil pimpinan tertinggi tentara Sekutu di Surabaya ini berhenti persis di bawah baliho besar yang memajang gambar bendera merah putih. Di atas gambar sangsaka merah putih itu tertulis dengan huruf kapital ONCE AND FOREVER dan di bawahnya tertulis THE INDONESIAN REPUBLIC.
Mobil rombongan biro-kontak – kecuali mobil yang ditumpangi Moehamad – bergerak perlahan dan berhenti di tikungan dekat tempat parkir pinggir sungai Jalan Jembatan Merah. Di sini rombongan biro-kontak menunggu kembalinye ke tiga utusan yang masuk ke dalam gedung.
Sepuluh menit berlalu. TD Kundan keluar sendirian. Di depan pintu ia berteriak, “Kapten Shaw dan Moehamad masih memerlukan beberapa menit lagi”. Kemudian Kundan kembali masuk ke dalam gedung.
“Buuummmmmmmm”, bunyi geranat yang dilemparkan dari dalam gedung menggelegar di depan gedung, tidak jauh dari pintu masuk tempat Kundan berteriak sebelumnya. Suara geranat ini kemudian diiringi tembakan gencar dari lantai bawah gedung, kemudian juga menyusul dari lantai atas. Tembakan tertuju ke arah rombongan biro-kontak dan para pemuda yang berada di tanah lapang dan jalan di depan gedung Internatio.
Beberapa orang berteriak dan mengerang akibat terkena tembakan. Ada yang langsung tiarap dan ada yang lari tunggang-langgang menyelamatkan diri ke balik gedung lain di sekitar Jembatan Merah. Di antaranya ada yang tergeletak, gugur akibat tembakan serdadu Inggris.
Terjadi kekacauan, semua berusaha menyelamatkan diri. Rombongan biro-kontak juga berhamburan mencari perlindungan. Ada yang melompat ke pinggir sungai Kalimas di bawah Jembatan Merah.
Soengkono, Doel Arnowo, Dr.Moersito, Koesnandar dan Roeslan Abdulgani merangkak menuju pinggir sungai Kalimas yang airnya sedang surut. Desingan peluru dari arah gedung Internatio masih terdengar .
Melihat kebrutalan tentara Inggris itu, beberapa pemuda yang berasenjata dan membawa granat melakukan perlawanan. Di antara mereka, adalah Soetjipto Danoekusumo, komandan Polisi Istimewa (PI). Pasukan PI yang sudah terlatih itu memberi perlindungan kepada Residen Soedirman dan anggota biro kontak.
Residen Soedirman yang dilindungi pemuda dan PI berhasil menyeberang Jembatan Merah menuju Jalan Kembang Jepun dan terus menyelamatkan sampai ke kediamannya.
Mallaby bertahan di dalam mobil sedan hitam yang ditumpanginya. Namun mobil komandan Sekutu itupun tidak lepas dari sasaran tembakan. Bahkan, kemudian mobil itu meledak dengan dahsyat. Tembak-menembak semakin seru. Surabaya terus membara.
Soetjipto bergabung dengan anggota biro-kontak yang juga tokoh pejuang yang berada di pinggir Kalimas. Saat itu, seorang pemuda melompat mendekati Roeslan Abdulgani dan Doel Arnowo.
“Cak, sudah beres Cak!” Bisik seorang anak muda. “Apa yang sudah beres?” tanya Doel Arnowo kepada anak muda yang sudah dikenalnya itu.
“Jenderal Inggris, Cak! Mobilnya meledak dan terbakar”, jawab anak muda itu,
“Siapa yang meledakkan?” tanya Doel Arnowo lagi. Anak muda itu menunjuk dirinya. Melihat pandangan dan kerdipan mata Doel Arnowo yang seolah-olah mengatakan jangan mengaku, kemudian anak muda itu mengatakan, “tidak tahu Cak”.
Semua yang mendengar laporan anak muda kepada Doel Arnowo itu terkejut dan hanya terdiam.
“Ya sudah, diam saja. Jangan cerita kepada orang lain,” pesan anggota biro-kontak yang lainnya.
Memang, sebelum anak muda itu melompat ke pinggir sungai Kalimas mendekat anggota biro-kontak, terdengar tembakan dan bunyi ledakan di deretan mobil yang parkir.
Itulah sebuah cuplikan dialog catatan sejarah yang mengisahkan “tewasnya” Brigjen Mallaby di Surabaya. Ia dinyatakan “gugur” sebagai pahlawan tentara Sekutu. Tetapi, bangsa Indonesia, menyebut ia tewas.
Dibawa Mati
Sampai di hari tuanya, hingga kemudian wafat, Doel Arnowo tidak mau menyebut nama anak muda yang mengaku menggranat mobil Mallaby itu. Penulis pernah berulangkali menanyakan langsung kepada Cak Doel Arnowo, saat masa tuanya yang secara kebetulan sering dan mudah berkomunikasi dengan penulis.
Bahkan saat bertanya kepada cak Doel yang mantan walikota Surabaya ini, penulis pernah didampingi anaknya Rahmat, namun almarhum Doel Arnowo tetap tidak mau menyebut nama anak muda yang “mengaku” meledakkan mobil Mallaby itu. “Biarlah, tidak usah disebarluaskan, karena ini menyangkut masalah hukum perang, hukum internasional ”, kata Cak Doel Arnowo kepada penulis yang waktu itu sebagai wartawan dan wakil pemimpin redaksi Harian “Radar Kota” Surabaya.
Memang, Cak Doel benar-benar menyimpan rahasia itu hingga akhir hayatnya. Tidak seorangpun yang tahu, siapa nama pemuda yang telah melempar granat ke mobil Mallaby itu. Rahasia itu dibawa mati oleh Cak Doel Arnowo.
Bung Tomo melalui siaran radio Pemberontak menyiarkan tentang terulangnya kontak senjata di sekitar gedung Internatio. Bung Tomo menyebutkan, banyak pejuang yang terluka dan gugur akibat kebrutalan tentara Inggris. Bahkan, sekarang Moehamad dan TD Kundan terjebak di dalam gedung. Nasibnya belum jelas.
Mendengar siaran radio itu, ambulans berdatangan ke arah Jembatan Merah. Petugas Palang Merah memberi bantuan dan melarikan mereka yang terluka ke rumahsakit. Raungan serine ambulans ini membuat para tentara Inggris di dalam gedung menghentikan tembakan. Dari balik jeruji serdadu Sekutu itu menonton anggota Palang Merah yang memberi bantuan.
Beberapa anggota biro-kontak naik ke jalan, kemudian menyeberang dan berjalan kaki menuju Hoofdbureau atau kantor besar polisi di Jalan Sikatan – sekarang menjadi gedung Markas Polisi Wilayah Kota Besar (Polwiltabes) Surabaya.
Malam ini Surabaya tegang. Para pemuda pejuang mengatur strategi untuk memaksa Inggris meninggalkan gedung Internatio.
Sebaliknya pihak Inggris atau Sekutu, benar-benar marah setelah mendapat informasi tewasnya Mallaby. Para pembesar Sekutu di Jakarta betul-betul terpukul. Sebagai pemenang Perang Dunia II, belum pernah ada jenderal yang terluka. Di Surabaya, justru tewas akibat ledakan geranat. Dunia gempar. Perhatian kemudian tertuju kepada Indonesia, khususnya Surabaya. ***
Rabu, 27 Januari 2010
Kronologis Pertempuran 10 November 1945
Setelah Perang Dunia II usai, pada 25 Oktober 1945, 6000 pasukan Inggris-India yaitu Brigade 49, Divisi 23 yang dipimpin Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby mendarat di Surabaya dengan perintah utama melucuti tentara Jepang, tentara dan milisi Indonesia. Mereka juga bertugas mengurus bekas tawanan perang dan memulangkan tentara Jepang. Pasukan Jepang menyerahkan semua senjata mereka, tetapi milisi dan lebih dari 20000 pasukan Indonesia menolak.
26 Oktober 1945, tercapai persetujuan antara Bapak Suryo, Gubernur Jawa Timur dengan Brigjen Mallaby bahwa pasukan Indonesia dan milisi tidak harus menyerahkan senjata mereka. Sayangnya terjadi salah pengertian antara pasukan Inggris di Surabaya dengan markas tentara Inggris di Jakarta yang dipimpin Letnan Jenderal Sir Philip Christison.
27 Oktober 1945, jam 11.00 siang, pesawat Dakota AU Inggris dari Jakarta menjatuhkan selebaran di Surabaya yang memerintahkan semua tentara Indonesia dan milisi untuk menyerahkan senjata. Para pimpinan tentara dan milisi Indonesia marah waktu membaca selebaran ini dan menganggap Brigjen Mallaby tidak menepati perjanjian tanggal 26 Oktober 1945.
28 Oktober 1945, pasukan Indonesia dan milisi menggempur pasukan Inggris di Surabaya. Untuk menghindari kekalahan di Surabaya, Brigjen Mallaby meminta agar Presiden RI Soekarno dan panglima pasukan Inggris Divisi 23, Mayor Jenderal Douglas Cyril Hawthorn untuk pergi ke Surabaya dan mengusahakan perdamaian.
29 Oktober 1945, Presiden Soekarno, Wapres Mohammad Hatta dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin Harahap bersama Mayjen Hawthorn pergi ke Surabaya untuk berunding.
Pada siang hari, 30 Oktober 1945, dicapai persetujuan yang ditanda-tangani oleh Presiden RI Soekarno dan Panglima Divisi 23 Mayjen Hawthorn. Isi perjanjian tersebut adalah diadakan perhentian tembak menembak dan pasukan Inggris akan ditarik mundur dari Surabaya secepatnya. Mayjen Hawthorn dan ke 3 pimpinan RI meninggalkan Surabaya dan kembali ke Jakarta.
Pada sore hari, 30 Oktober 1945, Brigjen Mallaby berkeliling ke berbagai pos pasukan Inggris di Surabaya untuk memberitahukan soal persetujuan tersebut. Saat mendekati pos pasukan Inggris di gedung Internatio, dekat Jembatan merah, mobil Brigjen Mallaby dikepung oleh milisi yang sebelumnya telah mengepung gedung Internatio.
Karena mengira komandannya akan diserang oleh milisi, pasukan Inggris kompi D yang dipimpin Mayor Venu K. Gopal melepaskan tembakan ke atas untuk membubarkan para milisi. Para milisi mengira mereka diserang / ditembaki tentara Inggris dari dalam gedung Internatio dan balas menembak. Seorang perwira Inggris, Kapten R.C. Smith melemparkan granat ke arah milisi Indonesia, tetapi meleset dan malah jatuh tepat di mobil Brigjen Mallaby.
Granat meledak dan mobil terbakar. Akibatnya Brigjen Mallaby dan sopirnya tewas. Laporan awal yang diberikan pasukan Inggris di Surabaya ke markas besar pasukan Inggris di Jakarta menyebutkan Brigjen Mallaby tewas ditembak oleh milisi Indonesia.
Letjen Sir Philip Christison marah besar mendengar kabar kematian Brigjen Mallaby dan mengerahkan 24000 pasukan tambahan untuk menguasai Surabaya.
9 November 1945, Inggris menyebarkan ultimatum agar semua senjata tentara Indonesia dan milisi segera diserahkan ke tentara Inggris, tetapi ultimatum ini tidak diindahkan.
10 November 1945, Inggris mulai membom Surabaya dan perang sengit berlangsung terus menerus selama 10 hari. Dua pesawat Inggris ditembak jatuh pasukan RI dan salah seorang penumpang Brigadir Jendral Robert Guy Loder-Symonds terluka parah dan meninggal keesokan harinya.
20 November 1945, Inggris berhasil menguasai Surabaya dengan korban ribuan orang prajurit tewas. Lebih dari 20000 tentara Indonesia, milisi dan penduduk Surabaya tewas. Seluruh kota Surabaya hancur lebur.
Pertempuran ini merupakan salah satu pertempuran paling berdarah yang dialami pasukan Inggris pada dekade 1940an. Pertempuran ini menunjukkan kesungguhan Bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan dan mengusir penjajah.
Karena sengitnya pertempuran dan besarnya korban jiwa, setelah pertempuran ini, jumlah pasukan Inggris di Indonesia mulai dikurangi secara bertahap dan digantikan oleh pasukan Belanda. Pertempuran tanggal 10 November 1945 tersebut hingga sekarang dikenang dan diperingati sebagai Hari Pahlawan.
26 Oktober 1945, tercapai persetujuan antara Bapak Suryo, Gubernur Jawa Timur dengan Brigjen Mallaby bahwa pasukan Indonesia dan milisi tidak harus menyerahkan senjata mereka. Sayangnya terjadi salah pengertian antara pasukan Inggris di Surabaya dengan markas tentara Inggris di Jakarta yang dipimpin Letnan Jenderal Sir Philip Christison.
27 Oktober 1945, jam 11.00 siang, pesawat Dakota AU Inggris dari Jakarta menjatuhkan selebaran di Surabaya yang memerintahkan semua tentara Indonesia dan milisi untuk menyerahkan senjata. Para pimpinan tentara dan milisi Indonesia marah waktu membaca selebaran ini dan menganggap Brigjen Mallaby tidak menepati perjanjian tanggal 26 Oktober 1945.
28 Oktober 1945, pasukan Indonesia dan milisi menggempur pasukan Inggris di Surabaya. Untuk menghindari kekalahan di Surabaya, Brigjen Mallaby meminta agar Presiden RI Soekarno dan panglima pasukan Inggris Divisi 23, Mayor Jenderal Douglas Cyril Hawthorn untuk pergi ke Surabaya dan mengusahakan perdamaian.
29 Oktober 1945, Presiden Soekarno, Wapres Mohammad Hatta dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin Harahap bersama Mayjen Hawthorn pergi ke Surabaya untuk berunding.
Pada siang hari, 30 Oktober 1945, dicapai persetujuan yang ditanda-tangani oleh Presiden RI Soekarno dan Panglima Divisi 23 Mayjen Hawthorn. Isi perjanjian tersebut adalah diadakan perhentian tembak menembak dan pasukan Inggris akan ditarik mundur dari Surabaya secepatnya. Mayjen Hawthorn dan ke 3 pimpinan RI meninggalkan Surabaya dan kembali ke Jakarta.
Pada sore hari, 30 Oktober 1945, Brigjen Mallaby berkeliling ke berbagai pos pasukan Inggris di Surabaya untuk memberitahukan soal persetujuan tersebut. Saat mendekati pos pasukan Inggris di gedung Internatio, dekat Jembatan merah, mobil Brigjen Mallaby dikepung oleh milisi yang sebelumnya telah mengepung gedung Internatio.
Karena mengira komandannya akan diserang oleh milisi, pasukan Inggris kompi D yang dipimpin Mayor Venu K. Gopal melepaskan tembakan ke atas untuk membubarkan para milisi. Para milisi mengira mereka diserang / ditembaki tentara Inggris dari dalam gedung Internatio dan balas menembak. Seorang perwira Inggris, Kapten R.C. Smith melemparkan granat ke arah milisi Indonesia, tetapi meleset dan malah jatuh tepat di mobil Brigjen Mallaby.
Granat meledak dan mobil terbakar. Akibatnya Brigjen Mallaby dan sopirnya tewas. Laporan awal yang diberikan pasukan Inggris di Surabaya ke markas besar pasukan Inggris di Jakarta menyebutkan Brigjen Mallaby tewas ditembak oleh milisi Indonesia.
Letjen Sir Philip Christison marah besar mendengar kabar kematian Brigjen Mallaby dan mengerahkan 24000 pasukan tambahan untuk menguasai Surabaya.
9 November 1945, Inggris menyebarkan ultimatum agar semua senjata tentara Indonesia dan milisi segera diserahkan ke tentara Inggris, tetapi ultimatum ini tidak diindahkan.
10 November 1945, Inggris mulai membom Surabaya dan perang sengit berlangsung terus menerus selama 10 hari. Dua pesawat Inggris ditembak jatuh pasukan RI dan salah seorang penumpang Brigadir Jendral Robert Guy Loder-Symonds terluka parah dan meninggal keesokan harinya.
20 November 1945, Inggris berhasil menguasai Surabaya dengan korban ribuan orang prajurit tewas. Lebih dari 20000 tentara Indonesia, milisi dan penduduk Surabaya tewas. Seluruh kota Surabaya hancur lebur.
Pertempuran ini merupakan salah satu pertempuran paling berdarah yang dialami pasukan Inggris pada dekade 1940an. Pertempuran ini menunjukkan kesungguhan Bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan dan mengusir penjajah.
Karena sengitnya pertempuran dan besarnya korban jiwa, setelah pertempuran ini, jumlah pasukan Inggris di Indonesia mulai dikurangi secara bertahap dan digantikan oleh pasukan Belanda. Pertempuran tanggal 10 November 1945 tersebut hingga sekarang dikenang dan diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Silsilah Kerajaan Mataram
Mataram Kuno
Dinasti Syailendra
Bhanu (752-775)
Wisnu (775-782)
Indra (782-812)
Samaratungga (812-833)
Pramodhawardhani (833-856), menikah dengan Rakai Pikatan (Dinasti Sanjaya)
[sunting] Dinasti Sanjaya
Sanjaya (732-7xx)
Rakai Panangkaran
(tidak diketahui)
Rakai Patapan (8xx-838)
Rakai Pikatan (838-855), mendepak Dinasti Syailendra
Rakai Kayuwangi (855-885)
Dyah Tagwas (885)
Rakai Panumwangan Dyah Dewendra (885-887)
Rakai Gurunwangi Dyah Badra (887)
Rakai Watuhumalang (894-898)
Rakai Watukura Dyah Balitung (898-910)
Daksa (910-919)
Tulodong (919-921)
Dyah Wawa (924-928)
Mpu Sindok (928-929), memindahkan pusat kerajaan ke Jawa Timur (Medang)
[sunting] Medang
Mpu Sindok (929-947)
Sri Isyanatunggawijaya (947-9xx)
Makutawangsawardhana (9xx-985)
Dharmawangsa Teguh (985-1006)
[sunting] Kahuripan
Airlangga (1019-1045), mendirikan kerajaan di reruntuhan Medang
(Airlangga kemudian memecah Kerajaan Kahuripan menjadi dua: Janggala dan Kadiri)
[sunting] Janggala
(tidak diketahui silsilah raja-raja Janggala hingga tahun 1116)
[sunting] Kadiri
(tidak diketahui silsilah raja-raja Kadiri hingga tahun 1116)
Kameswara (1116-1135), mempersatukan kembali Kadiri dan Panjalu
Jayabaya (1135-1159)
Rakai Sirikan (1159-1169)
Sri Aryeswara (1169-1171)
Sri Candra (1171-1182)
Kertajaya (1182-1222)
[sunting] Singhasari
Ken Arok (1222-1227)
Anusapati (1227-1248)
Tohjaya (1248)
Ranggawuni (Wisnuwardhana) (1248-1254)
Kertanagara ( 1254-1292)
[sunting] Majapahit
Raden Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana) (1293-1309)
Jayanagara (1309-1328)
Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328-1350)
Hayam Wuruk (Rajasanagara) (1350-1389)
Wikramawardhana (1390-1428)
Suhita (1429-1447)
Dyah Kertawijaya (1447-1451)
Rajasawardhana (1451-1453)
Girishawardhana (1456-1466)
Singhawikramawardhana (Suraprabhawa) (1466-1474)
Bhre Kertabhumi (Brawijaya) (1468-1478)
Girindrawardhana (1474-1519)
[sunting] Demak
Raden Patah (1478 - 1518)
Pati Unus (1518 - 1521)
Sultan Trenggono (1521 - 1546)
Sunan Prawoto (1546 - 1561)
[sunting] Pajang
Jaka Tingkir, dikenal juga sebagai Sultan Hadiwijoyo (1561 - 1575?)
[sunting] Mataram Islam
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Daftar raja Mataram Baru
Ki Ageng Pemanahan, menerima tanah perdikan Mataram dari Jaka Tingkir
Panembahan Senapati (Raden Sutowijoyo) (1575 - 1601)
Sunan Prabu Hanyakrawati (1601 - 1613), dikenal juga sebagai Sunan Seda Krapyak
Sultan Agung (Prabu Hanyakrakusuma) (1613 - 1645)
Amangkurat I (1645 - 1677), dikenal juga sebagai Sinuhun Tegal Arum
Amangkurat II (1677 - 1703)
Amangkurat III (1703 - 1705)
Pakubuwana I (1705 - 1719), dikenal juga sebagai Sunan Puger
Amangkurat IV (1719 - 1727), memindahkan istana ke Kartasura
[sunting] Kasunanan Surakarta
Pakubuwana II (1727 - 1749), memindahkan kraton Kartasura ke Surakarta pada tahun 1745
Pakubuwana III (1749 - 1788)
Pakubuwana IV (1788 - 1820)
Pakubuwana V (1820 - 1823)
Pakubuwana VI (1823 - 1830), juga dikenal dengan nama (Pangeran Bangun Tapa)
Pakubuwana VII (1830 - 1858)
Pakubuwana VIII (1859 - 1861)
Pakubuwana IX (1861 - 1893)
Pakubuwana X (1893 - 1939)
Pakubuwana XI (1939 - 1944)
Pakubuwana XII (1944 - 2004)
Pakubuwana XIII raja kembar (Hangabehi dan Tedjowulan) (2005-sekarang)
[sunting] Kasultanan Yogyakarta
Hamengkubuwana I (Sultan Mangkubumi) (1755 - 1792)
Hamengkubuwana II (1793 - 1828)
Hamengkubuwana III (1810 - 1814)
Hamengkubuwana IV (1814 - 1822)
Hamengkubuwana V (1822 - 1855)
Hamengkubuwana VI (1855 - 1877)
Hamengkubuwana VII (1877 - 1921)
Hamengkubuwana VIII (1921 - 1939)
Hamengkubuwana IX (1939 - 1988)
Hamengkubuwana X (1988 - sekarang)
[sunting] Kadipaten Mangkunegaran
Mangkunagara I (Raden Mas Said) (1757 - 1795)
Mangkunagara II (1796 - 1835)
Mangkunagara III (1835 - 1853)
Mangkunagara IV (1853 - 1881)
Mangkunagara V (1881 - 1896)
Mangkunagara VI (1896 - 1916)
Mangkunagara VII (1916 -1944)
Mangkunagara VIII (1944 - 1987)
Mangkunagara IX (1987 - sekarang)
[sunting] Pakualaman
Paku Alam I (1813 - 1829)
Paku Alam II (1829 - 1858)
Paku Alam III (1858 - 1864)
Paku Alam IV (1864 - 1878)
Paku Alam V (1878 - 1900)
Paku Alam VI (1901 - 1902)
Paku Alam VII (1903 - 1938)
Paku Alam VIII (1938 - 1998)
Paku Alam IX (1998 - sekarang)
Diperoleh dari "http://id.wiki.detik.com/wiki/Daftar_raja_Jawa"
Dinasti Syailendra
Bhanu (752-775)
Wisnu (775-782)
Indra (782-812)
Samaratungga (812-833)
Pramodhawardhani (833-856), menikah dengan Rakai Pikatan (Dinasti Sanjaya)
[sunting] Dinasti Sanjaya
Sanjaya (732-7xx)
Rakai Panangkaran
(tidak diketahui)
Rakai Patapan (8xx-838)
Rakai Pikatan (838-855), mendepak Dinasti Syailendra
Rakai Kayuwangi (855-885)
Dyah Tagwas (885)
Rakai Panumwangan Dyah Dewendra (885-887)
Rakai Gurunwangi Dyah Badra (887)
Rakai Watuhumalang (894-898)
Rakai Watukura Dyah Balitung (898-910)
Daksa (910-919)
Tulodong (919-921)
Dyah Wawa (924-928)
Mpu Sindok (928-929), memindahkan pusat kerajaan ke Jawa Timur (Medang)
[sunting] Medang
Mpu Sindok (929-947)
Sri Isyanatunggawijaya (947-9xx)
Makutawangsawardhana (9xx-985)
Dharmawangsa Teguh (985-1006)
[sunting] Kahuripan
Airlangga (1019-1045), mendirikan kerajaan di reruntuhan Medang
(Airlangga kemudian memecah Kerajaan Kahuripan menjadi dua: Janggala dan Kadiri)
[sunting] Janggala
(tidak diketahui silsilah raja-raja Janggala hingga tahun 1116)
[sunting] Kadiri
(tidak diketahui silsilah raja-raja Kadiri hingga tahun 1116)
Kameswara (1116-1135), mempersatukan kembali Kadiri dan Panjalu
Jayabaya (1135-1159)
Rakai Sirikan (1159-1169)
Sri Aryeswara (1169-1171)
Sri Candra (1171-1182)
Kertajaya (1182-1222)
[sunting] Singhasari
Ken Arok (1222-1227)
Anusapati (1227-1248)
Tohjaya (1248)
Ranggawuni (Wisnuwardhana) (1248-1254)
Kertanagara ( 1254-1292)
[sunting] Majapahit
Raden Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana) (1293-1309)
Jayanagara (1309-1328)
Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328-1350)
Hayam Wuruk (Rajasanagara) (1350-1389)
Wikramawardhana (1390-1428)
Suhita (1429-1447)
Dyah Kertawijaya (1447-1451)
Rajasawardhana (1451-1453)
Girishawardhana (1456-1466)
Singhawikramawardhana (Suraprabhawa) (1466-1474)
Bhre Kertabhumi (Brawijaya) (1468-1478)
Girindrawardhana (1474-1519)
[sunting] Demak
Raden Patah (1478 - 1518)
Pati Unus (1518 - 1521)
Sultan Trenggono (1521 - 1546)
Sunan Prawoto (1546 - 1561)
[sunting] Pajang
Jaka Tingkir, dikenal juga sebagai Sultan Hadiwijoyo (1561 - 1575?)
[sunting] Mataram Islam
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Daftar raja Mataram Baru
Ki Ageng Pemanahan, menerima tanah perdikan Mataram dari Jaka Tingkir
Panembahan Senapati (Raden Sutowijoyo) (1575 - 1601)
Sunan Prabu Hanyakrawati (1601 - 1613), dikenal juga sebagai Sunan Seda Krapyak
Sultan Agung (Prabu Hanyakrakusuma) (1613 - 1645)
Amangkurat I (1645 - 1677), dikenal juga sebagai Sinuhun Tegal Arum
Amangkurat II (1677 - 1703)
Amangkurat III (1703 - 1705)
Pakubuwana I (1705 - 1719), dikenal juga sebagai Sunan Puger
Amangkurat IV (1719 - 1727), memindahkan istana ke Kartasura
[sunting] Kasunanan Surakarta
Pakubuwana II (1727 - 1749), memindahkan kraton Kartasura ke Surakarta pada tahun 1745
Pakubuwana III (1749 - 1788)
Pakubuwana IV (1788 - 1820)
Pakubuwana V (1820 - 1823)
Pakubuwana VI (1823 - 1830), juga dikenal dengan nama (Pangeran Bangun Tapa)
Pakubuwana VII (1830 - 1858)
Pakubuwana VIII (1859 - 1861)
Pakubuwana IX (1861 - 1893)
Pakubuwana X (1893 - 1939)
Pakubuwana XI (1939 - 1944)
Pakubuwana XII (1944 - 2004)
Pakubuwana XIII raja kembar (Hangabehi dan Tedjowulan) (2005-sekarang)
[sunting] Kasultanan Yogyakarta
Hamengkubuwana I (Sultan Mangkubumi) (1755 - 1792)
Hamengkubuwana II (1793 - 1828)
Hamengkubuwana III (1810 - 1814)
Hamengkubuwana IV (1814 - 1822)
Hamengkubuwana V (1822 - 1855)
Hamengkubuwana VI (1855 - 1877)
Hamengkubuwana VII (1877 - 1921)
Hamengkubuwana VIII (1921 - 1939)
Hamengkubuwana IX (1939 - 1988)
Hamengkubuwana X (1988 - sekarang)
[sunting] Kadipaten Mangkunegaran
Mangkunagara I (Raden Mas Said) (1757 - 1795)
Mangkunagara II (1796 - 1835)
Mangkunagara III (1835 - 1853)
Mangkunagara IV (1853 - 1881)
Mangkunagara V (1881 - 1896)
Mangkunagara VI (1896 - 1916)
Mangkunagara VII (1916 -1944)
Mangkunagara VIII (1944 - 1987)
Mangkunagara IX (1987 - sekarang)
[sunting] Pakualaman
Paku Alam I (1813 - 1829)
Paku Alam II (1829 - 1858)
Paku Alam III (1858 - 1864)
Paku Alam IV (1864 - 1878)
Paku Alam V (1878 - 1900)
Paku Alam VI (1901 - 1902)
Paku Alam VII (1903 - 1938)
Paku Alam VIII (1938 - 1998)
Paku Alam IX (1998 - sekarang)
Diperoleh dari "http://id.wiki.detik.com/wiki/Daftar_raja_Jawa"
Selasa, 26 Januari 2010
Pemberantasan korupsi Indonesia di era Gubernur Daendels
sekitar tahun 1795, terjadi pergolakan di Eropa. Negeri Belanda dikalahkan oleh perancis dan dijadikan wilayah Perancis dibawah pemerintahan Kaisar Napoleon Bonaparte. Raja Belanda sekaligus direktur VOC, Willem V, harus melarikan diri ke Inggris dan minta perlindungan pada musuh Perancis itu. Tahun 1806, Kaisar Napoleon mengangkat Lodewijk, kakaknya sendiri untuk menjadi raja di Holland (Belanda). Lalu raja baru ini mengangkat orang kepercayaannya Herman Willem Daendels, sebagai Gubernur di Nusantara.
Daendels adalah orang yang sangat tegas, pemerintahan dibawah kekuasaanya dijalankan dengan tangan besi. Ketika ia menjadi Gubernur Jendral di Indonesia, ia menetapkan peraturan peraturan yang tegas, termasuk peraturan untuk memberantas korupsi di kalangan pegawai pegawai Belanda, pegawai VOC, maupun kepala desa lokal. Beberapa peraturannya seperti berikut :
1. Uang pembelian hasil bumi, tidak boleh lagi diberikan lewat perantara, namun harus langsung kepada petani.
2. Tidak boleh lagi ada komisi dari leveransir barang barang gubermen. Tidak diperbolehkan juga mendapat penghasilan lain kecuali dari gaji (ini berlaku untuk pegawai pemerintahan).
3. Melarang para pegawai menerima komisi atau hadiah dari para bupati lokal maupun rakyat dan pedagang.
4. Dibuat sebuah badan yang bernama Biro Pembukuan yang bertugas memeriksa pembukuan setiap residen.
5. Setiap inspeksi ke daerah tidak perlu disambut secara meriah. Cukup dengan pembukuan masing masing daerah.
6. Serdadu yang ketahuan mencuri akan langsung dihukum mati.
7. Pegawai yang menggelapkan uang negara akan langsung dihukum gantung (ada 5 orang yang langsung digantung pada masa itu).
8. Atasan yang tidak memperlakukan bawahannya dengan semestinya akan diturunkan pangkatnya. Pada masa itu seorang kapten diturunkan pangkatnya karena tidak memberi makanan dengan lawak pada prajuritnya.
9. Tidak mentolerir suap. Seorang perwira polisi langsung dikeluarkan dari kepolisian karena menerima suap pada masa itu.
10. Bila ada yang ketahuan menerima hadiah secara ilegal akan langsung masuk penjara.
11. Tidak diperbolehkan adanya lintah darat. Pernah ada yang ketahuan jadi lintah darat diwaktu itu, besoknya yang bersangkutan langsung digantung didepan rumahnya tanpa peradilan.
Pada masa itu antara 1807 - 1811, terjadi perombakan luar biasa dikalangan pegawai pemerintahan. Korupsi yang sangat melegenda sehingga membuat VOC bangkrut ditumpas habis pada saat pemerintahan Jendral Daendels ini. Bahkan, Gubernur Engelhard yang menurut Daendels punya pendapatan lebih besar dari seharusnya, dipecat dengan tidak hormat. Pemerintahan yang tegas itu membuat Daendels punya banyak sekali musuh, terutama dari pegawai pemerintahan yang pernah dihukum olehnya. Selain itu, Daendels mendapat banyak komplain dari para Jendral karena ke sombongannya dan tindakannya yang semena mena, seperti meratakan tempat tinggal Gubernur J.P. Coen di Batavia dan meruntuhkan tembok Batavia. Daendels juga terkenal amat galak, karena ia sering membentak siapapun yang dianggapnya tidak bekerja denganbaik, sampai sampai rakyat memberinya gelar Tuwan Besar Guntur. Selain itu Daendels juga dituduh melakukan korupsi. Pernah uang hasil penjualan 60.000 kg kopi ke Eropa, diserahkan kepada istri Daendels di Holland. Akibatnya Raja Lodwijk mencopot Daendels dan dipanggil pulang ke Holland.
Sumber : Peperangan Kerajaan Di Nusantara - Capt. R.P. Suyono 2004
Senin, 25 Januari 2010
Sistem Tanam Paksa (1830 - 1870)
Sejarah
Tahun 1830, Pemerintah Hindia Belanda mengangkat Johanes Van den Bosch sebagai gubernur jendral di Jawa, pada masa itu Pemerintah hindia belanda sedang dalam kesulitan ekonomi akibat perang Jawa (Perang Diponegoro) pada tahun 1825 - 1830. Tugas utama van den Bosch adalah memulihkan keadaan perekonomian pemerintah Hindia Belanda. Pada masa itu, gubernur jendral baru ini berpikir bagaimana cara memulihkan kas hindia belanda ini. Lalu keluarlah ide, sebuah sistem, yang bernama tanam paksa (cultuur stelsel) sebagai solusi keuangan Hindia Belanda.
Konsep Cultuur Stelsel
Prinsip sistem ini adalah penggantian pemberian pajak, yang tadinya berupa uang dari rakyat berubah menjadi bentuk barang (natura). Artinya para petani diharuskan untuk membayar pajak dengan hasil bumi sesuai ketentuan yang berlaku. Diharapkan dari sistem ini, pungutan pajak berbentuk hasil bumi ini akan memulihkan perekonomian pemerintah Hindia Belanda. Menurut van den Bosch sistem ini akan meningkatkan ekspor Indonesia antara 15 - 20 juta rupiah setiap tahunnya. Beberapa jenis tanaman dagang meliputi : gula, nila, teh, tembakau, kopi, kayu manis, kapas.
Ketentuan sistem tanam paksa ini diatur dalam staatsblad yang memuat antara lain :
1. Sesuai persetujuan bersama, petani akan menyediakan sebagian dari tanahnya untuk ditanami tanaman tanaman dagang yang bisa diekspor pada pemerintah hindia belanda.
2. Bagian dari tanah pertanian yang disediakan oleh penduduk tidak boleh lebih dari 1/5 bagian dari tanah yang dikelola oleh penduduk desa.
3. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman dagang, tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi.
4. Bagian tanah yang diserahkan untuk tanaman dagang tidak dikenai pajak tanah.
5. Tanaman dagang yang dihasilkan wajib diserahkan pada pemerintah Hindia Belanda sebagai pajak yang telah ditentukan sesuai perjanjian sebelumnya. Bila hasil penjualan tanaman itu melebihi nilai pajak yang ditentukan, maka pemerintah Hindia Belanda berkewajiban untuk mengembalikan selisih positifnya pada petani.
6. Kegagalan panen tanaman dagang, kerugiaanya ditanggung oleh pemerintah Hindia Belanda. Kecuali kegagalan itu karena keteledoran atau kemalasan petani.
7. Penduduk desa akan mengerjakan tanah tanahnya dibawah pengawasan kepala kepala mereka. Pegawai Belanda hanya mengawasi penyerahan hasil bumi pada pemerintah.
Penyelewengan
Kalau kita lihat, sistem ini mungkin tidak terlalu memberatkan petani. Petani masih dapat menanam untuk keperluan sehari hari mereka. Namun sayangnya banyak sekali penyimpangan di lapangan yang dilakukan oleh pengawas Belanda, Bupati, Kepala Desa, dan mandor yang bertugas. Contoh penyimpangan yang banyak terjadi adalah penanaman tenaman dagang bisa melebihi 1/2 dari lahan petani, petani dipaksa untuk menanam tanaman dagang sehingga mereka kesulitan untuk makan, pajak yang seharusnya dibebaskan tetap dikenakan pada para petani, kegagalan panen juga akhirnya menjadi beban petani. Pada masa itu petani hidup amat sulit. Penyimpangan penyimpangan ini disebabkan oleh adanya hadiah finansial atau cultuurprocenten untuk para Bupati, kepala desa, dan pengawas Belanda yang wilayahnya banyak memberi masukan hasil bumi. Akibatnya para kepala desa berlomba lomba untuk memaksa petaninya bekerja dengan amat keras. Pada masa itu, pengawasan dari pemerintah Hindia Belanda amat lemah sehingga para mandor tani dapat saja berbuat seenak enaknya pada petani.
Menurut Gonggrijp, era tanam paksa dari tahun 1830 - 1850, atau 20 tahun pertama adalah tahun paling berat buat petani Jawa. Dia menyamakan tanam paksa dengan kerja rodi membuat jalan atau jembatan.
Era Akhir Tanam Paksa
Sebelum tahun 1850, rakyat di negeri Belanda tidak tahu menahu mengenai penderitaan petani di negri jajahannya. Namun setelah tahun 1850, berita berita mengenai kekejaman tanam paksa mulai terdengar di negri Belanda. Banyak tokoh Belanda (terutama dari fraksi Liberal) yang mengecam tindakan pemerintah Hindia Belanda. Perdebatan inipun muncul di forum forum Internasional. Tahun 1860 muncul sebuah buku yang berjudul Max Havelaar, ditulis oleh seorang Belanda yang tinggal di Indonesia Eduard Dowes Dekker. Buku adalah sebuah novel yang berkisah mengenai penderitaan rakyat Indonesia dibawah era tanam paksa. Diyakini kisah dalam buku ini diambil dari pengalaman Dowes Dekker waktu menjadi pegawai pemerintah di Lebak. Buku ini membuka mata penduduk di Negri Belanda maupun Eropa.
Tahun 1860 an, partai Liberal memenangkan pemilihan di Belanda, akibatnya asa liberal mulai diberlakukan di Belanda dan negara jajahan. Tahun 1870, sistem tanam paksa murni dihapuskan dan dimulailah era pemerintahan liberal di Hindia Belanda.
by Yulius Adi - The Man From The Past
Sabtu, 23 Januari 2010
Geef mij maar nasi goreng by Witeke Van Dort
Louisa Johanna Theodora (Wieteke) van Dort (lahir di Surabaya, Dutch East Indies, May 16, 1943) adalah seorang aktris, komedian, penyanyi dan penulis.Dia sering tampil di acara anak anak di TV Belanda dengan nama "tante Lien".
Wieteke Van Dort dilahirkan di Surabaya, walaupun ia berkebangsaan Belanda. Dia hidup disaat penjajah Jepang masuk ke Indonesia.
Jaman dulu, dia sempat menulis sebuah lagu yang lucu mengenai sebuah masakan khas Indonesia, "Nasi Goreng". Lagunya cukup terkenal dan lucu kalau di dengar. Ketika saya bersiaran di radio Maestro Bandung hari Selasa, hampir tiap hari lagu ini diputer. Ini liriknya yang saya dapet dari mbah google :
Geef mij maar nasi goreng
Toen wij repatrieerden uit de gordel van smaragd
Dat Nederland zo koud was hadden wij toch nooit gedacht
Maar 't ergste was 't eten. Nog erger dan op reis
Aardapp'len, vlees en groenten en suiker op de rijst
refr.:
Geef mij maar nasi goreng met een gebakken ei
Wat sambal en wat kroepoek en een goed glas bier erbij
Geef mij maar nasi goreng met een gebakken ei
Wat sambal en wat kroepoek en een goed glas bier erbij
Geen lontong, sate babi, en niets smaakt hier pedis
Geen trassi, sroendeng, bandeng en geen tahoe petis
Kwee lapis, onde-onde, geen ketella of ba-pao
Geen ketan, geen goela-djawa, daarom ja, ik zeg nou
refr.
Ik ben nou wel gewend, ja aan die boerenkool met worst
Aan hutspot, pake klapperstuk, aan mellek voor de dorst
Aan stamppot met andijwie, aan spruitjes, erwtensoep
Maar 't lekkerst toch is rijst, ja en daarom steeds ik roep
refr....
Sumber : Wikipedia
Ibu Soed (Saridjah Niung)
bu Soed (Saridjah Niung)
Ibu Soed, bernama lengkap Saridjah Niung Bintang Soedibio, kelahiran Sukabumi, Jawa Barat, 26 Maret 1908, seorang pencipta lagu anak-anak legendaris. Dia mencipta 200 lebih lagu anak-anak. Tokoh musik tiga jaman (Belanda, Jepang, Indonesia), ini pertama kali mengumandangkan suaranya di radio NIROM Jakarta 1927.
Ibu Sud juga mahir mengalunkan biola. Sebagai pemusik biola, dia ikut mengiringi lagu Indonesia Raya ketika pertama kali didengungkan di Gedung Pemuda 28 Oktober 1928.
Ibu Soed bernama asli Saridjah, bungsu dari dua belas orang bersaudara, putri Mohamad Niung, seorang pelaut berdarah Bugis yang kemudian menetap di Sukabumi, Jawa Barat menjadi pengawal Prof. Dr. Mr. J.F. Kramer, seorang indo-Belanda -- beribukan keturunan Jawa ningrat. Prof. Dr. Mr. J.F. Kramer, pensiunan Vice President Hoogerechtshof (Kejaksaan Tinggi) di Jakarta, yang waktu itu menetap di Sukabumi mengangkat Saridjah sebagai anak.
Bakat musiknya terasah sejak kecil oleh ayah angkat yang mengasuhnya Prof. Dr. Mr. J.F. Kramer. Di bawah pengasuhan sang ayah angkat, Saridjah mendapat pendidikan seni suara, seni musik dan belajar menggesek biola.
Setelah menamatkan pendidikan di Kweekschool, Bandung, Saridjah mengajar di HIS HIS Petojo, HIS Jalan Kartini, dan HIS Arjuna (1925-1941). Di sini dia mulai mengajar anak-anak menyanyi. Dia prihatin melihat anak-anak Indonesia yang tampak kurang berbahagia. Lalu dia berpikir untuk menyenangkan anak-anak itu dengan menyanyi.
Dia pun berpikir sebaiknya anak-anak Indonesia itu dapat menyanyi dalam bahasa Indonesia. Tentu akan lebih menyenangkan daripada harus mengajarkan lagu berbahasa Belanda kepada murid-murid Indonesia. Maka, dia pun mulai mencipta lagu untuk anak-anak Indonesia.
Lagu-lagu ciptaannya, tidak hanya memberi kegembiraan kepada anak-anak, tetapi juga mendorong mereka berkhayal, berimajinasi menjadi anak bangsa yang kelak berbakti dan mencipta untuk kejayaan bangsanya. Selain menciptakan sejumlah lagu kanak-kanak berirama ceria, antara lain Hai Becak, Ketilang, Kupu-kupu, dan Bila Aku Besar, juga lagu ceria patriotik seperti Tanah Airku dan Berkibarlah Benderaku.
Berkibarlah Benderaku diciptakan setelah dia melihat kegigihan Yusuf Ronodipuro, seorang pimpinan RRI pada tahun-tahun pertama Indonesia merdeka. Yusuf menolak menurunkan Sang Saka Merah Putih yang sedang berkibar di kantornya, walaupun dalam ancaman senjata api.
Semangat cinta tanah air juga terukir dalam lirik lagu Tanah Airku: Tanah airku tidak kulupakan/ Kan terkenang selama hidupku/ Biarpun saya pergi jauh/ Tidak kan hilang dari kalbu/ Tanah ku yang kucintai/ Engkau kuhargai. Walaupun banyak negri kujalani/ Yang masyhur permai dikata orang/ Tetapi kampung dan rumahku/ Di sanalah kurasa senang/ Tanahku tak kulupakan/ Engkau kubanggakan.
Lebih dari 200 lagu telah dia ciptakan. Tapi saying, hanya separuh yang bisa terselamatkan. Di tengah kesibukannya mengajar dan mencipta lagu, ia juga pernah menulis naskah sandiwara dan sekaligus mementaskannya. Yakni Operette Ballet Kanak-kanak Sumi di Gedung Kesenian, Jakarta, 1955. Ia mementaskannya bersama Ny. Nani Loebis Gondosapoetro sebagai penata tari dan RAJ Soedjasmin sebagai penata musik.
Selain itu, saat aktif sebagai anggota organisasi Indonesia Muda tahun 1926, ia juga membentuk grup Tonil Amatir. Tonil itu mereka pentaskan untuk memperoleh sejumlah uang membiayai penginapan mahasiswa Club Indonesia. Hasilnya, lebih dari cukup. Selain aktivitasnya tidak hanya menonjol sebagai guru dan aktivis organisasi pemuda, tetapi juga berperan dalam berbagai siaran radio sebagai pengasuh siaran anak-anak (1927-1962). Bahkan, ia juga piawai membatik. Atas karya pengabdiannya, dia menerima Satya Lencana Kebudayaan dari pemerintah.
Dia menikah dengan Bintang Soedibio, dikaruniai tiga orang putrid. Sejak menikah namanya lebih dikenal dengan Ibu Soed. Suaminya meninggal tahun 1954 dalam suatu musibah kecelakaan pesawat BOAC di Singapura.
Ibu Soed, bernama lengkap Saridjah Niung Bintang Soedibio, kelahiran Sukabumi, Jawa Barat, 26 Maret 1908, seorang pencipta lagu anak-anak legendaris. Dia mencipta 200 lebih lagu anak-anak. Tokoh musik tiga jaman (Belanda, Jepang, Indonesia), ini pertama kali mengumandangkan suaranya di radio NIROM Jakarta 1927.
Ibu Sud juga mahir mengalunkan biola. Sebagai pemusik biola, dia ikut mengiringi lagu Indonesia Raya ketika pertama kali didengungkan di Gedung Pemuda 28 Oktober 1928.
Ibu Soed bernama asli Saridjah, bungsu dari dua belas orang bersaudara, putri Mohamad Niung, seorang pelaut berdarah Bugis yang kemudian menetap di Sukabumi, Jawa Barat menjadi pengawal Prof. Dr. Mr. J.F. Kramer, seorang indo-Belanda -- beribukan keturunan Jawa ningrat. Prof. Dr. Mr. J.F. Kramer, pensiunan Vice President Hoogerechtshof (Kejaksaan Tinggi) di Jakarta, yang waktu itu menetap di Sukabumi mengangkat Saridjah sebagai anak.
Bakat musiknya terasah sejak kecil oleh ayah angkat yang mengasuhnya Prof. Dr. Mr. J.F. Kramer. Di bawah pengasuhan sang ayah angkat, Saridjah mendapat pendidikan seni suara, seni musik dan belajar menggesek biola.
Setelah menamatkan pendidikan di Kweekschool, Bandung, Saridjah mengajar di HIS HIS Petojo, HIS Jalan Kartini, dan HIS Arjuna (1925-1941). Di sini dia mulai mengajar anak-anak menyanyi. Dia prihatin melihat anak-anak Indonesia yang tampak kurang berbahagia. Lalu dia berpikir untuk menyenangkan anak-anak itu dengan menyanyi.
Dia pun berpikir sebaiknya anak-anak Indonesia itu dapat menyanyi dalam bahasa Indonesia. Tentu akan lebih menyenangkan daripada harus mengajarkan lagu berbahasa Belanda kepada murid-murid Indonesia. Maka, dia pun mulai mencipta lagu untuk anak-anak Indonesia.
Lagu-lagu ciptaannya, tidak hanya memberi kegembiraan kepada anak-anak, tetapi juga mendorong mereka berkhayal, berimajinasi menjadi anak bangsa yang kelak berbakti dan mencipta untuk kejayaan bangsanya. Selain menciptakan sejumlah lagu kanak-kanak berirama ceria, antara lain Hai Becak, Ketilang, Kupu-kupu, dan Bila Aku Besar, juga lagu ceria patriotik seperti Tanah Airku dan Berkibarlah Benderaku.
Berkibarlah Benderaku diciptakan setelah dia melihat kegigihan Yusuf Ronodipuro, seorang pimpinan RRI pada tahun-tahun pertama Indonesia merdeka. Yusuf menolak menurunkan Sang Saka Merah Putih yang sedang berkibar di kantornya, walaupun dalam ancaman senjata api.
Semangat cinta tanah air juga terukir dalam lirik lagu Tanah Airku: Tanah airku tidak kulupakan/ Kan terkenang selama hidupku/ Biarpun saya pergi jauh/ Tidak kan hilang dari kalbu/ Tanah ku yang kucintai/ Engkau kuhargai. Walaupun banyak negri kujalani/ Yang masyhur permai dikata orang/ Tetapi kampung dan rumahku/ Di sanalah kurasa senang/ Tanahku tak kulupakan/ Engkau kubanggakan.
Lebih dari 200 lagu telah dia ciptakan. Tapi saying, hanya separuh yang bisa terselamatkan. Di tengah kesibukannya mengajar dan mencipta lagu, ia juga pernah menulis naskah sandiwara dan sekaligus mementaskannya. Yakni Operette Ballet Kanak-kanak Sumi di Gedung Kesenian, Jakarta, 1955. Ia mementaskannya bersama Ny. Nani Loebis Gondosapoetro sebagai penata tari dan RAJ Soedjasmin sebagai penata musik.
Selain itu, saat aktif sebagai anggota organisasi Indonesia Muda tahun 1926, ia juga membentuk grup Tonil Amatir. Tonil itu mereka pentaskan untuk memperoleh sejumlah uang membiayai penginapan mahasiswa Club Indonesia. Hasilnya, lebih dari cukup. Selain aktivitasnya tidak hanya menonjol sebagai guru dan aktivis organisasi pemuda, tetapi juga berperan dalam berbagai siaran radio sebagai pengasuh siaran anak-anak (1927-1962). Bahkan, ia juga piawai membatik. Atas karya pengabdiannya, dia menerima Satya Lencana Kebudayaan dari pemerintah.
Dia menikah dengan Bintang Soedibio, dikaruniai tiga orang putrid. Sejak menikah namanya lebih dikenal dengan Ibu Soed. Suaminya meninggal tahun 1954 dalam suatu musibah kecelakaan pesawat BOAC di Singapura.
Kamis, 21 Januari 2010
Siapa Pemilik Mobil Pertama di Indonesia?
Pemilik Mobil Pertama di Indonesia
Orang Indonesia pertama yang tercatat sebagai pemilik mobil adalah Sunan Solo, pada tahun 1894. Mobilnya bermerk Benz, tipe Carl Benz, beroda empat. Diperlukan waktu satu tahun persiapan pembuatannya, karena tipe ini memiliki banyak variasi sesuai dengan pesanan Sunan. John.C.Potter seorang penjual mobil mendapat kepercayaan untuk mengurusi pengirimannya dari Eropa.
Tahun 1907 salah seorang keluarga raja lain di Solo, Kanjeng Raden Sosrodiningrat membeli sebuah mobil merk Daimler. Mobil merk ini memang tergolong mobil mahal dan hanya dimiliki oleh orang-orang berkedudukan tinggi. Mobil ini bekerja dengan empat silinder sama dengan kendaraan yang dipakai oleh Gubernur Jenderal di Batavia. Malahan ada kabar burung, bahwa dibelinya mobil Daimler tersebut oleh keluarga Sunan Solo, disebabkan karena Sunan tidak mau kalah gengsi dengan Gubernur Jenderal. Sebelumnya, ketika Gubernur masih menggunakan mobil merk Fiat atau sebuah kereta yang ditarik dengan 40 ekor kuda, tidak seorang pun berani menyainginya. Tetapi tiba-tiba saja Sunan Solo memesan mobil dari pabrik dan merk yang sama, Kanjeng Raden Sosrodiningrat memesan mobil Daimlernya lewat Prottel & Co.
Orang Indonesia lainnya yang juga dari keluarga kesultanan yang memiliki mobil pribadi ialah Sultan Ternate pada tahun 1913. Keinginannya untuk memiliki dan mengendarai sendiri ‘kereta setan’, setelah merasakan nikmatnya duduk di kendaraan merk King Dick yang dibawa oleh seorang Belanda dalam perjalanan keliling Maluku. Sultan begitu terkesan dan langsung memesan sebuah mobil yang disesuaikan dengan kondisi daerahnya, tidak seperti King Dick yang beroda tiga, tetapi Sultan Ternate menginginkan kendaraan roda empat yang bisa dibawa kemana saja bila ia inginkan.
Ada juga orang Indonesia yang lain, sebagai pemilik mobil pertama untuk daerahnya, di Pekalongan. Namanya Raden Mas Ario Tjondro, Bupati Berebes. Di tahun 1904 mobilnya sudah kelihatan mondar-mandir di kotanya. Mobilnya merk Orient Backboard, mobil ini dilengkapi dengan persneling maju dan mundur. Tetapi hanya memiliki satu silinder dan berkekuatan delapan PK, serta menggunakan tenaga rantai untuk menggerakan roda-rodanya.
Ramainya pasar jual-beli mobil, menggugah minat para pengusaha kuat untuk bertindak sebagai importir mobil. Gagasan untuk terjun ke dalam dunia dagang sektor impor kurun waktu itu memang masih sangat langka. Disamping belum adanya kepastian hukum, juga semangat beli masih bisa dihitung dengan jari. Maka bermunculanlah perusahan-perusahaan baru yang menjanjikan jasa kepengurusan pengiriman mobil dari negeri asal. Baik dari Eropa maupun dari Amerika. Namun hanya ada beberapa nama saja yang bisa bertahan sampai tahun-tahun menjelang Perang Dunia ke II. Diantara mereka adalah R.S Stockvis & Zonnen Ltd, yang tidak saja mengurus pesanan mobil-mobil Eropa maupun Amerika tetapi juga menyediakan suku-suku cadang lain yang diperlukan untuk mobil dan motor. Juga nama Verwey & Lugard dan Velodrome yang berkantor pusat di Surabaya.
Nama-nama lain yang kurang menerima pesanan impor seperti pemilik mobil O’herne yang juga memiliki mobil Peugeot juga akhirnya berminat menjadi perantara importir mobil seperti merk yang dimilikinya. Juga nama H.Jonkhoff yang berangkat dari pengusaha Piano kemudian menanamkan modalnya untuk bertindak sebagai agen impor mobil dari Amerika seperti merk Ford, Studebaker dan mobil-mobil keluaran Jerman, Darraq, Benz, Brasier, Berliet dan lainnya. Ada juga usaha untuk mendatangkan mobil-mobil Italia dan Perancis yang pada saat itu di Batavia kurang mendapat pasaran. Namun ternyata, setelah ditangani dengan publikasi/promosi yang baik produksi kedua negara tersebut jadi banyak dibeli, terutama mobil merk Fiat yang mungil bentuknya namun bertenaga besar. Cabang para importir mobil tersebut bukan hanya di Batavia dan Surabaya, tetapi ada juga di Semarang, Bandung, Medan dan kota lainnya.
(sumber: Mobil tempo dulu, 1988).
Orang Indonesia pertama yang tercatat sebagai pemilik mobil adalah Sunan Solo, pada tahun 1894. Mobilnya bermerk Benz, tipe Carl Benz, beroda empat. Diperlukan waktu satu tahun persiapan pembuatannya, karena tipe ini memiliki banyak variasi sesuai dengan pesanan Sunan. John.C.Potter seorang penjual mobil mendapat kepercayaan untuk mengurusi pengirimannya dari Eropa.
Tahun 1907 salah seorang keluarga raja lain di Solo, Kanjeng Raden Sosrodiningrat membeli sebuah mobil merk Daimler. Mobil merk ini memang tergolong mobil mahal dan hanya dimiliki oleh orang-orang berkedudukan tinggi. Mobil ini bekerja dengan empat silinder sama dengan kendaraan yang dipakai oleh Gubernur Jenderal di Batavia. Malahan ada kabar burung, bahwa dibelinya mobil Daimler tersebut oleh keluarga Sunan Solo, disebabkan karena Sunan tidak mau kalah gengsi dengan Gubernur Jenderal. Sebelumnya, ketika Gubernur masih menggunakan mobil merk Fiat atau sebuah kereta yang ditarik dengan 40 ekor kuda, tidak seorang pun berani menyainginya. Tetapi tiba-tiba saja Sunan Solo memesan mobil dari pabrik dan merk yang sama, Kanjeng Raden Sosrodiningrat memesan mobil Daimlernya lewat Prottel & Co.
Orang Indonesia lainnya yang juga dari keluarga kesultanan yang memiliki mobil pribadi ialah Sultan Ternate pada tahun 1913. Keinginannya untuk memiliki dan mengendarai sendiri ‘kereta setan’, setelah merasakan nikmatnya duduk di kendaraan merk King Dick yang dibawa oleh seorang Belanda dalam perjalanan keliling Maluku. Sultan begitu terkesan dan langsung memesan sebuah mobil yang disesuaikan dengan kondisi daerahnya, tidak seperti King Dick yang beroda tiga, tetapi Sultan Ternate menginginkan kendaraan roda empat yang bisa dibawa kemana saja bila ia inginkan.
Ada juga orang Indonesia yang lain, sebagai pemilik mobil pertama untuk daerahnya, di Pekalongan. Namanya Raden Mas Ario Tjondro, Bupati Berebes. Di tahun 1904 mobilnya sudah kelihatan mondar-mandir di kotanya. Mobilnya merk Orient Backboard, mobil ini dilengkapi dengan persneling maju dan mundur. Tetapi hanya memiliki satu silinder dan berkekuatan delapan PK, serta menggunakan tenaga rantai untuk menggerakan roda-rodanya.
Ramainya pasar jual-beli mobil, menggugah minat para pengusaha kuat untuk bertindak sebagai importir mobil. Gagasan untuk terjun ke dalam dunia dagang sektor impor kurun waktu itu memang masih sangat langka. Disamping belum adanya kepastian hukum, juga semangat beli masih bisa dihitung dengan jari. Maka bermunculanlah perusahan-perusahaan baru yang menjanjikan jasa kepengurusan pengiriman mobil dari negeri asal. Baik dari Eropa maupun dari Amerika. Namun hanya ada beberapa nama saja yang bisa bertahan sampai tahun-tahun menjelang Perang Dunia ke II. Diantara mereka adalah R.S Stockvis & Zonnen Ltd, yang tidak saja mengurus pesanan mobil-mobil Eropa maupun Amerika tetapi juga menyediakan suku-suku cadang lain yang diperlukan untuk mobil dan motor. Juga nama Verwey & Lugard dan Velodrome yang berkantor pusat di Surabaya.
Nama-nama lain yang kurang menerima pesanan impor seperti pemilik mobil O’herne yang juga memiliki mobil Peugeot juga akhirnya berminat menjadi perantara importir mobil seperti merk yang dimilikinya. Juga nama H.Jonkhoff yang berangkat dari pengusaha Piano kemudian menanamkan modalnya untuk bertindak sebagai agen impor mobil dari Amerika seperti merk Ford, Studebaker dan mobil-mobil keluaran Jerman, Darraq, Benz, Brasier, Berliet dan lainnya. Ada juga usaha untuk mendatangkan mobil-mobil Italia dan Perancis yang pada saat itu di Batavia kurang mendapat pasaran. Namun ternyata, setelah ditangani dengan publikasi/promosi yang baik produksi kedua negara tersebut jadi banyak dibeli, terutama mobil merk Fiat yang mungil bentuknya namun bertenaga besar. Cabang para importir mobil tersebut bukan hanya di Batavia dan Surabaya, tetapi ada juga di Semarang, Bandung, Medan dan kota lainnya.
(sumber: Mobil tempo dulu, 1988).
Jembatan Merah
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Jembatan Merah merupakan salah satu monumen sejarah di Surabaya, Jawa Timur yang dibiarkan seperti adanya: sebagai jembatan. Jembatan yang menjadi salah satu judul lagu ciptaan Gesang ini, semasa zaman VOC dahulu dinilai penting karena menjadi sarana perhubungan paling vital melewati Kalimas menuju Gedung Keresidenan Surabaya, yang sudah tidak berbekas lagi.
Kawasan Jembatan Merah merupakan daerah perniagaan yang mulai berkembang sebagai akibat dari Perjanjian Paku Buwono II dari Mataram dengan VOC pada 11 November 1743. Dalam perjanjian itu sebagian daerah pantai utara, termasuk Surabaya, diserahkan penguasaannya kepada VOC. Sejak saat itulah Surabaya berada sepenuhnya dalam kekuasaan Belanda. Kini, posisinya sebagai pusat perniagaan terus berlangsung. Di sekitar jembatan terdapat indikator-indikator ekonomi, termasuk salah satunya Plaza Jembatan Merah.
Perubahan fisiknya terjadi sekitar tahun 1890-an, ketika pagar pembatasnya dengan sungai diubah dari kayu menjadi besi. Kini kondisi jembatan yang menghubungkan Jalan Rajawali dan Jalan Kembang Jepun di sisi utara Surabaya itu, hampir sama persis dengan jembatan lainnya. Pembedanya hanyalah warna merah.
Sejarahnya
Jembatan merah ini berada di Surabaya Utara, wilayah yang pada waktu itu menjadi cikal bakal pembentukan kota Surabaya tua. Pada jaman kolonialisme dahulu, banyak kota-kota di pesisir terbangun dari wilayah utara baru kemudian menyebar ke bawah, ke arah selatan. Jakarta dan Semarang adalah contoh lain dari kasus ini. Nah, di bagian Surabaya yang ini, mata anda akan terpuaskan oleh banyaknya bangunan tua bergaya kolonialisme yang menyebar di berbagai titik kemanapun anda memandang. Sedikit banyak, gaya kolonialisme ini berpadu dengan gaya pecinan karena di ujung jembatan merah ini terdapat kya-kya (yang artinya jalan-jalan).
Jembatan ini memang secara fisik warnanya merah. Di jembatan inilah terjadi peristiwa sejarah, tewasnya Brig. Jend. Mallaby (sekutu) pada tanggal 30 Oktober 2009. Peristiwa ini memicu dikeluarkannya ultimatum dari sekutu pada 9 November 1945 agar Indonesia meletakkan senjata selambat-lambatnya pada 10 November 1945. Tidak mau meletakkan senjatanya dan terus berjuang sampai titik darah penghabisan, akhirnya Surabaya digempur habis-habisan oleh sekutu. Tahu donk, 10 November tuh hari apa? Hari Pahlawan! Karena perjuangan rakyat Indonesia di Surabaya dalam melawan sekutu dan penjajah, maka 10 November 1945 dinobatkan menjadi Hari Pahlawan. Pada tanggal ini juga terjadi perobekan warna biru dari bendera merah putih biru di Hotel Yamato (Hotel Oranje) di Tunjungan. Merahnya jembatan ini bukan karena darah para pejuang yang gugur di wilayah ini. Jembatan ini dahulunya sudah berwarna merah semenjak jaman kerajaan Mataram. Kini, jembatan yang dahulunya kayu tersebut telah diubah pinggirannya menjadi besi pada tahun 1980 dengan tetap mempertahankan warna merahnya.
Jembatan Merah merupakan salah satu monumen sejarah di Surabaya, Jawa Timur yang dibiarkan seperti adanya: sebagai jembatan. Jembatan yang menjadi salah satu judul lagu ciptaan Gesang ini, semasa zaman VOC dahulu dinilai penting karena menjadi sarana perhubungan paling vital melewati Kalimas menuju Gedung Keresidenan Surabaya, yang sudah tidak berbekas lagi.
Kawasan Jembatan Merah merupakan daerah perniagaan yang mulai berkembang sebagai akibat dari Perjanjian Paku Buwono II dari Mataram dengan VOC pada 11 November 1743. Dalam perjanjian itu sebagian daerah pantai utara, termasuk Surabaya, diserahkan penguasaannya kepada VOC. Sejak saat itulah Surabaya berada sepenuhnya dalam kekuasaan Belanda. Kini, posisinya sebagai pusat perniagaan terus berlangsung. Di sekitar jembatan terdapat indikator-indikator ekonomi, termasuk salah satunya Plaza Jembatan Merah.
Perubahan fisiknya terjadi sekitar tahun 1890-an, ketika pagar pembatasnya dengan sungai diubah dari kayu menjadi besi. Kini kondisi jembatan yang menghubungkan Jalan Rajawali dan Jalan Kembang Jepun di sisi utara Surabaya itu, hampir sama persis dengan jembatan lainnya. Pembedanya hanyalah warna merah.
Sejarahnya
Jembatan merah ini berada di Surabaya Utara, wilayah yang pada waktu itu menjadi cikal bakal pembentukan kota Surabaya tua. Pada jaman kolonialisme dahulu, banyak kota-kota di pesisir terbangun dari wilayah utara baru kemudian menyebar ke bawah, ke arah selatan. Jakarta dan Semarang adalah contoh lain dari kasus ini. Nah, di bagian Surabaya yang ini, mata anda akan terpuaskan oleh banyaknya bangunan tua bergaya kolonialisme yang menyebar di berbagai titik kemanapun anda memandang. Sedikit banyak, gaya kolonialisme ini berpadu dengan gaya pecinan karena di ujung jembatan merah ini terdapat kya-kya (yang artinya jalan-jalan).
Jembatan ini memang secara fisik warnanya merah. Di jembatan inilah terjadi peristiwa sejarah, tewasnya Brig. Jend. Mallaby (sekutu) pada tanggal 30 Oktober 2009. Peristiwa ini memicu dikeluarkannya ultimatum dari sekutu pada 9 November 1945 agar Indonesia meletakkan senjata selambat-lambatnya pada 10 November 1945. Tidak mau meletakkan senjatanya dan terus berjuang sampai titik darah penghabisan, akhirnya Surabaya digempur habis-habisan oleh sekutu. Tahu donk, 10 November tuh hari apa? Hari Pahlawan! Karena perjuangan rakyat Indonesia di Surabaya dalam melawan sekutu dan penjajah, maka 10 November 1945 dinobatkan menjadi Hari Pahlawan. Pada tanggal ini juga terjadi perobekan warna biru dari bendera merah putih biru di Hotel Yamato (Hotel Oranje) di Tunjungan. Merahnya jembatan ini bukan karena darah para pejuang yang gugur di wilayah ini. Jembatan ini dahulunya sudah berwarna merah semenjak jaman kerajaan Mataram. Kini, jembatan yang dahulunya kayu tersebut telah diubah pinggirannya menjadi besi pada tahun 1980 dengan tetap mempertahankan warna merahnya.
Senin, 18 Januari 2010
Naskah kuno Indonesia di perpustakaan RI
Naskah Kuno Nusantara Perpustakaan Nasional RI berasal dari Museum Nasional sejak tahun 1962 yang dihibahkan oleh para ahli berkebangsaan Belanda kepada Lembaga Kebudayaan Indonesia atau pada masa zaman Belanda dikenal dengan nama Bataviaasch Genootshap van Kunsten en Wetenshappen. Para pakar dari Belanda yang ikut serta dalam perkumpulan naskah tersebut antara lain Dr. Brandes, Cohen Stuart dan Ir. Moens yang pernah bertugas di Yogyakarta.
Sampai saat ini koleksi naskah Perpustakaan Nasional RI terus bertambah walau tidak banyak, hal ini karena naskah kuno sudah semakin langka keberadaannya. Ada kecenderungan bahwa para pemilik lebih senang menjual ke luar negeri daripada menghibahkan ke Perpustakaan Nasional RI dengan “Mas Kawin”, yang tentunya bernilai lain bila menggunakan ukuran US $ (Dolar Amerika), £ (Poundsterlling) dan Ringgit. Hal ini dapat terjadi atau mungkin terjadi karena para pemilik/penjual tidak mengetahui bahwa naskah kuno yang dimiliki, mempunyai arti penting bagi studi kebudayaan di negara kita, dan dapat mengungkap masa lampau apakah ada benang merah dengan masa sekarang.
Beberapa contoh naskah yang tersimpan di Perpustakaan Nasional RI antara lain :
1. Naskah Negara Kertagama.
Naskah ini yang dihibahkan oleh Dr. Brandes adalah salah satu naskah monumental karya Mpu Prapanca, yaitu naskah Negara Kertagama yang masih cukup bagus, dapat terselamatkan dan sekarang menjadi koleksi yang bermakna tinggi di bumi Nusantara.
2. Naskah Merapi Merbabu.
Dari beberapa naskah kuno koleksi Perpustakaan Nasional RI ini telah banyak dimanfaatkan oleh para peneliti baik dalam negeri maupun mancanegara. Sebagai salah satu contoh adalah terungkapnya naskah Merapi-Merbabu oleh ilmuwan dari Yogyakarta yaitu Dr. I Kuntara Wirjamartana Sj dan kawan-kawan. Walau belum seluruh naskah Merapi Merbabu dibuat, tetapi katalog telah terwujud sehingga misteri-misteri yang ada didalam naskah tersebut lambat laun akan terungkap. Naskah ini mempunyai ciri huruf yang lain dari huruf Jawa sekarang yang sangat unik, dan perlu diketahui bahwa ahli naskah Merapi Merbabu sampai saat ini hanya 3 orang, yaitu dua dari Yogyakarta dan satu dari Leiden (Belanda).
3. Naskah Surek Baweng
Bahan naskah dari lontar dengan lebar 1,5 cm, berbentuk rol (dua gulungan menyerupai kaset), beraksara bugis, berbahasa bugis, berbentuk prosa. Kondisi cukup baik, lontar disambung-sambung, kemudian dijahit dengan sejenis benang, bertangkai kayu, panjang tangkai 46,6 cm. Di dalam naskah ini terdiri dari tiga uraian pokok yaitu :
a. Nasehat bagi kaum laki-laki yang muda, jika mencari calon istri yang baik jangan tergesa-gesa datang meminang perempuan tersebut.
b. Hari perkawinan yang baik adalah berkaitan dengan hari kelahiran seorang perempuan yang akan dipinang, beberapa tabiat yang dimiliki oleh perempuan, dan tata cara kehidupan berumah tangga.
Sumber : http://www.wacananusantara.org
Sampai saat ini koleksi naskah Perpustakaan Nasional RI terus bertambah walau tidak banyak, hal ini karena naskah kuno sudah semakin langka keberadaannya. Ada kecenderungan bahwa para pemilik lebih senang menjual ke luar negeri daripada menghibahkan ke Perpustakaan Nasional RI dengan “Mas Kawin”, yang tentunya bernilai lain bila menggunakan ukuran US $ (Dolar Amerika), £ (Poundsterlling) dan Ringgit. Hal ini dapat terjadi atau mungkin terjadi karena para pemilik/penjual tidak mengetahui bahwa naskah kuno yang dimiliki, mempunyai arti penting bagi studi kebudayaan di negara kita, dan dapat mengungkap masa lampau apakah ada benang merah dengan masa sekarang.
Beberapa contoh naskah yang tersimpan di Perpustakaan Nasional RI antara lain :
1. Naskah Negara Kertagama.
Naskah ini yang dihibahkan oleh Dr. Brandes adalah salah satu naskah monumental karya Mpu Prapanca, yaitu naskah Negara Kertagama yang masih cukup bagus, dapat terselamatkan dan sekarang menjadi koleksi yang bermakna tinggi di bumi Nusantara.
2. Naskah Merapi Merbabu.
Dari beberapa naskah kuno koleksi Perpustakaan Nasional RI ini telah banyak dimanfaatkan oleh para peneliti baik dalam negeri maupun mancanegara. Sebagai salah satu contoh adalah terungkapnya naskah Merapi-Merbabu oleh ilmuwan dari Yogyakarta yaitu Dr. I Kuntara Wirjamartana Sj dan kawan-kawan. Walau belum seluruh naskah Merapi Merbabu dibuat, tetapi katalog telah terwujud sehingga misteri-misteri yang ada didalam naskah tersebut lambat laun akan terungkap. Naskah ini mempunyai ciri huruf yang lain dari huruf Jawa sekarang yang sangat unik, dan perlu diketahui bahwa ahli naskah Merapi Merbabu sampai saat ini hanya 3 orang, yaitu dua dari Yogyakarta dan satu dari Leiden (Belanda).
3. Naskah Surek Baweng
Bahan naskah dari lontar dengan lebar 1,5 cm, berbentuk rol (dua gulungan menyerupai kaset), beraksara bugis, berbahasa bugis, berbentuk prosa. Kondisi cukup baik, lontar disambung-sambung, kemudian dijahit dengan sejenis benang, bertangkai kayu, panjang tangkai 46,6 cm. Di dalam naskah ini terdiri dari tiga uraian pokok yaitu :
a. Nasehat bagi kaum laki-laki yang muda, jika mencari calon istri yang baik jangan tergesa-gesa datang meminang perempuan tersebut.
b. Hari perkawinan yang baik adalah berkaitan dengan hari kelahiran seorang perempuan yang akan dipinang, beberapa tabiat yang dimiliki oleh perempuan, dan tata cara kehidupan berumah tangga.
Sumber : http://www.wacananusantara.org
Naskah Kuno Nagara Kertagama
Perpustakaan Nasional RI, pada tanggal 21 Pebruari 2008 mendapatkan penghargaan dari UNESCO tentang koleksi Nagara Kretagama atau deskripsi suatu negara pada tahun 1365 masehi, yang terdaftar dalam The Memory of the World Regional Register for Asia/Pacific.
Dengan adanya penghargaan tersebut kita sebagai bangsa Indonesia merasa bangga atas kejayaan para leluhur, tapi timbul pertanyaan apa nagara kretagama, siapa penulisnya, kapan dan di mana kejadiannya, dimana dan ada berapa naskah nagara kretagama.
Naskah Asli Negara Kertagama
Dari beberapa pertanyaan tersebut penulis mencoba mengutarakan sebagian isi Nagara Kratagama berdasarkan buku karangan Prof. Dr. Slamet Mulyana dengan judul Tafsir Sejarah Nagara Kretagama, dan makalah Dr. Budya Pradipta dengan judul Potensi dan Power Nagara Kretagama Dalam Mengokohkan NKRI, yang disampaikan dalam acara bedah Naskah Nagara Kretagama yang diselenggarakan Perpustakaan Nasional RI pada 25 Mei 2005.
Nagara Kertagama selesai digubah pada bulan Aswina1287 Saka atau September Oktober 1365 (hal. 299).
Nagara Kretagama adalah sejarah pembangunan Majapahit dimasa lampau? Nagara Kretagama adalah gudang pengetahuan tentang sejarah Singasari dan Majapahit. Nagara Kretagama adalah pujasastra.
Naskah Nagara Kretagama ditemukan sebanyak 5 (lima) naskah. Pada 7 Juli 1978 di kota Antapura, Kabupaten Lombok, pulau Bali ditemukan 1 (satu) naskah dengan judul Desawarnana, tersimpan di Geria Pidada, Karang Asem. Pada tahun 1874 di Puri Cakranegara, pulau Lombok di temukan 1 (satu) naskah dengan judul Nagara Kretagama. Selanjutnya, tidak diketahui angka tahun penemuannya, di Geria Pidada, Klungkung ditemukan turunan rontal Nagara Kretagama 1 (satu) naskah; dan di Geria Carik Sideman ditemukan 2 (dua) naskah turunan Nagara Kretagama juga.
Nagara Kretagama berisi uraian tentang hubungan keluarga raja, para pembesar negara, jalannya pemerintahan, adat istiadat, candi makam para leluhur. Dan desa-desa perdikan, keadaan ibu kota, keadaan desa-desa sepanjang jalan keliling Sang Prabu pada 1359 masehi.
Pupuh pertama menceritakan Raja Sri Rajasanagara sebagai titisan Siwa-Budha. Keluhuran budi dan wataknya disamakan dengan dewa Iswara dewanya para yogi, Purusa yaitu jiwa bagi kapila. Kapila adalah pengikut ajaran sangkya. Selanjutnya disamakan dengan Wagindra atau dewa Brahma yang menghimpun segala ilmu, dewa Kama dala cinta birahi, dan dewa Yama penguasa hidup dan mati. Ketika dalam kandungan terjadi peristiwa alam sebagai isyarat keluhuran, yaitu meletusnya gunung Kelud, gempa bumi dan Pabanyu Pindah, hujan abu diikuti guruh dan halilintar.
Pupuh kedua sampai keenam menceritakan tentang hubungan kekerabatan. Rajapatni atau Gayatri adalah putri bungsu Sri Kertanegara. Rajapatni meninggal pada 1350 dan dimakamkan di Bayalangu. Ibu Sri Rajasanagara bernama Tribuwana Tunggadewi Jayawisnuwardhani, rani di Kahuripan dan ayahnya bernama Sri Kertawardana.
Pupuh ketigabelas sampai empat belas tentang nama-nama wilayah. Pada abad 13 wilayah Majapahit meliputi Kediri, Singasari, Janggala (Surabaya), Madura dan pada tahun 1316 ditambah Lumajang, kemudian seluruh Jawa Timur termasuk Madura dikuasai Majapahit pada 1331. Pada tahun 1343 Bali, Lombok dan Gurun, dan pada tahun 1350 Suwarnabhumi termasuk Pahang, Trengganu, Langkasuka, Kelantan, Woloan, Cerating, Paka, Tembeling, Grahi, Palembang, Muara Kampe, Lamuri, dan Tumasik. Pada pertengahan abad keempat belas Brunai masuk wilayah Majapahit. Pada tahun 1357 kota Dompo ditundukan. Dompo sebagai batu loncatan untuk menguasai pulau-pulau kecil lainnya di sebelah timur sampai Wanin, pantai barat Irian. Pada pertengahan abad keempat belas wilayah Sumatra yang dikuasai adalah: Jambi, Pelembang, Dharmasraya, Kandis, Kahwas, Siak, Rokan, Mandailing, Panai, Kampe, Haru, Temiang, Parlak, Samudra, Lamuri, Barus, Batan, Lampung. Wilayah Kalimantan (Tanjung Pura) adalah: Kapuas, Katingan, Sampit, Kota Lingga, Kota Waringin, Sambas, Lawai, Kandngan, Singkawang, Tirem, Landa, Sedu, Barune, Sukadana, Seludung, Solot, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjung Kutai, Malano. Wilayah Semenajung Tanah Melayu (Hujung Medini) adalah: Pahang, Langkasuka, Kelantan, Saiwang, Nagor, Paka, Muar, Dungun, Tumasik, Kelang, Kedah, Jerei. Sedangkan wilayah Timur Jawa adalah: Bali, Badahulu, Lo Gajah, Gurun, Sukun, Taliwang, Dompo, Sapi, Gunung Api, Seram, Hutan Kadali, Sasak, Bantayan, Luwuk, Makasar, Buton, Banggawi, Kunir, Galian, Selayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon atau Maluku, Wanin, Seram, dan Timor.
Menurut Budya Pradipta dalam makalah â€Bedah Naskah Nagarakretagama yang diselenggarakan Perpustakaan Nasional RI pada 2005, wilayah Majapahit dikelompokkan menjadi lima golongan, yaitu Jawa, Digantara, Nusantara, Desantara, dan Dwipantara. Jawa meliputi Nagara Majapahit, Jiwana, Singasari, Wengker, Lasem, Daha, Pajang, Matahun, Paguhan, Wirabhumi, Mataram, Pawwanawwan, dan Kebalan. Digantara artinya wilayah lain yaitu daerah yang takluk kepada raja Rajasanagara selain Jawa. Daerah tersebut adalah Pahang, Melayu, Gurun, dan bakulapura. Nusantara adalah pulau-pulau lain, yang termasuk Nusantara adalah Daerah melayu, daerah Tanjung Nagara, dan daerah Semenanjung Malaya. Desantara adalah segala penjuru, seluruh angkasa, daerah lain, dan negara lain, yang termasuk desantara adalah Syangka, Ayodyapura, Dharmanagari, marutama, Rajapura, Anghanagari, Campa, Kamboja. Dwipantara adalah kepulauan lain, yang termasuk dwipantara dan mitra adalah Yawana, Cina, Karnataka, dan Goda.
Pupuh kelimabelas hubungan dengan negara asing seperti Siam, Darmanegara, Singanagari, Campa, dan Kamboja.
Pupuh keenambelas sampai pupuh keenampuluh menceritaka tentang perjalanan keliling dari Majpahit ke Lumajang pada tahun 1959. Pupuh ni meupakan inti Nagara Kretagama.
Pupuh keenampuluh satu sampai pupuh keenampuluh dua menceritakan, pada tahun 1361, Sri Rajasanagara ke desa Simping, memperbaiki candi makam pembangun Majapahit Kertarajasa Jayawardhana.
Pupuh keenampuluh tiga sampai keenampuluh tujuh menceritakan, pada 1362 Sri Rajasanagara mengadakan upacara srada, memperingati nenek baginda Gayatri dari Singasari.
Pupuh keenampuluh delapan sampai enampuluh sembilan menceritakan sejarah pembagian kerajaan Kahuripan menjadi Jenggala dan Panjalu, serta menceritakan pembangunan candi Prajnyaparamitapuri sebagai lambang penyatuan kembali kerajaan Janggala dan Panjalu.
Pupuh ketujuh puluh sampai tujuh puluh tiga menceritakan perjalanan kembali dari desa Simping dan kematian Patih Gajah Mada. Dengan meninggalnya patih Gajah Mada, Sri Rajasanagara tidak mengangkat Patih Amangkubumi, tetapi dalam pemerintahan selanjutnya Sri Rajasanagara dibantu enam orang menteri. Menteri-menteri tersebut adalah Mpu Tandi sebagai menteri sepuh, Mpu Nala dengan gelar Tumenggung Amancanagara sebagai pembantu utama, Sang Pati Dami sebagai Menteri Anom dengan tugas segala urusan di dalam pura, Mpu Singa sebagai sekretaris negara yang bertugas menyaksikan segala keputusan raja, dan dua orang menteri yang membantu dalam pengadilan.
Pupuh ketujuh puluh empat sampai delapan puluh dua menceritakan nama-nama candi makam, tanah perdikan, asrama, desa kebudhaan, desa kesiwaan dalam kerajaan Majapahit, dan usaha raja dalam menyatukan tiga agama yaitu agama Siwa, Budha, dan wisnu.
Pupuh kedelapan puluh tiga menceritakan kesejahteraan pulau Jawa; tamu asing yang berkunjung; kirap atau perjalanan tahunan yang dilaksanakan setiap bulan Palguna.
Pupuh kedelapan puluh empat menceritakan lanjutan kirap keliling.
Pupuh kedelapan puluh lima menceritakan pertemuan setiap bulan Caitra, bulan pertama setiap tahun. Dalam pupuh tersebut juga membahas tentang jalannya pemerintahan untuk keselamatan negara, dihadiri para menteri, perwira, pembantu raja, kepala daerah, kepala desa, pendeta dari tiga aliran. Sega dursila harus disingkirkan, semua orang wajib menganut ajaran yang termuat dalam Rajapakakapa.
Pupuh kedelapan puluh enam sampai sembilan puluh dua menceritakan pesta besar di lapangan Bubat yang ditutup pada bulan Caitra. Keterangan lebih lanjut nama-nama bulan pada jaman Majapahit adalah: Caitra (Maret-April), Waisaka (April-Mei), Jyestha (Mei-Juni), Asadha (Juni-Juli), Srawana (Juli-Agustus), Bhadrapada (Agustus-September), Aswina (September-Oktober), Kartika (Oktober-Nopember) Margasirsa (Nopember-Desember), Pausa (Desember-Januari), Magda (Januari-Pebruari), Phalguna (Pebruari-Maret) (409). Bulan pertama adalah Caitra antara Maret-April).
Pupuh kesembilan puluh tiga sampai sembilan puluh empat menceritakan para pendeta yang menciptakan kakawin puja sastra, antara lain Budha Sri Aditya menggubah Sloka Bhogawali, Pendeta Mutali Saherdaya dan Upapati Sudharma menggubah sloka. Dan lima kakawin ciptaan Prapanca,yaitu Cakabda, lambang, Parwasagara, Bhismacaranantya, Sugataparwwawarnana.
Pupuh kesembilan puluh lima sampai sembilan puluh delapan meceritakan nasib sang pujangga Mpu Pra Panca.
Artikel ini ditulis oleh Suyatno
Perpustakaan Nasional RI
Dengan adanya penghargaan tersebut kita sebagai bangsa Indonesia merasa bangga atas kejayaan para leluhur, tapi timbul pertanyaan apa nagara kretagama, siapa penulisnya, kapan dan di mana kejadiannya, dimana dan ada berapa naskah nagara kretagama.
Naskah Asli Negara Kertagama
Dari beberapa pertanyaan tersebut penulis mencoba mengutarakan sebagian isi Nagara Kratagama berdasarkan buku karangan Prof. Dr. Slamet Mulyana dengan judul Tafsir Sejarah Nagara Kretagama, dan makalah Dr. Budya Pradipta dengan judul Potensi dan Power Nagara Kretagama Dalam Mengokohkan NKRI, yang disampaikan dalam acara bedah Naskah Nagara Kretagama yang diselenggarakan Perpustakaan Nasional RI pada 25 Mei 2005.
Nagara Kertagama selesai digubah pada bulan Aswina1287 Saka atau September Oktober 1365 (hal. 299).
Nagara Kretagama adalah sejarah pembangunan Majapahit dimasa lampau? Nagara Kretagama adalah gudang pengetahuan tentang sejarah Singasari dan Majapahit. Nagara Kretagama adalah pujasastra.
Naskah Nagara Kretagama ditemukan sebanyak 5 (lima) naskah. Pada 7 Juli 1978 di kota Antapura, Kabupaten Lombok, pulau Bali ditemukan 1 (satu) naskah dengan judul Desawarnana, tersimpan di Geria Pidada, Karang Asem. Pada tahun 1874 di Puri Cakranegara, pulau Lombok di temukan 1 (satu) naskah dengan judul Nagara Kretagama. Selanjutnya, tidak diketahui angka tahun penemuannya, di Geria Pidada, Klungkung ditemukan turunan rontal Nagara Kretagama 1 (satu) naskah; dan di Geria Carik Sideman ditemukan 2 (dua) naskah turunan Nagara Kretagama juga.
Nagara Kretagama berisi uraian tentang hubungan keluarga raja, para pembesar negara, jalannya pemerintahan, adat istiadat, candi makam para leluhur. Dan desa-desa perdikan, keadaan ibu kota, keadaan desa-desa sepanjang jalan keliling Sang Prabu pada 1359 masehi.
Pupuh pertama menceritakan Raja Sri Rajasanagara sebagai titisan Siwa-Budha. Keluhuran budi dan wataknya disamakan dengan dewa Iswara dewanya para yogi, Purusa yaitu jiwa bagi kapila. Kapila adalah pengikut ajaran sangkya. Selanjutnya disamakan dengan Wagindra atau dewa Brahma yang menghimpun segala ilmu, dewa Kama dala cinta birahi, dan dewa Yama penguasa hidup dan mati. Ketika dalam kandungan terjadi peristiwa alam sebagai isyarat keluhuran, yaitu meletusnya gunung Kelud, gempa bumi dan Pabanyu Pindah, hujan abu diikuti guruh dan halilintar.
Pupuh kedua sampai keenam menceritakan tentang hubungan kekerabatan. Rajapatni atau Gayatri adalah putri bungsu Sri Kertanegara. Rajapatni meninggal pada 1350 dan dimakamkan di Bayalangu. Ibu Sri Rajasanagara bernama Tribuwana Tunggadewi Jayawisnuwardhani, rani di Kahuripan dan ayahnya bernama Sri Kertawardana.
Pupuh ketigabelas sampai empat belas tentang nama-nama wilayah. Pada abad 13 wilayah Majapahit meliputi Kediri, Singasari, Janggala (Surabaya), Madura dan pada tahun 1316 ditambah Lumajang, kemudian seluruh Jawa Timur termasuk Madura dikuasai Majapahit pada 1331. Pada tahun 1343 Bali, Lombok dan Gurun, dan pada tahun 1350 Suwarnabhumi termasuk Pahang, Trengganu, Langkasuka, Kelantan, Woloan, Cerating, Paka, Tembeling, Grahi, Palembang, Muara Kampe, Lamuri, dan Tumasik. Pada pertengahan abad keempat belas Brunai masuk wilayah Majapahit. Pada tahun 1357 kota Dompo ditundukan. Dompo sebagai batu loncatan untuk menguasai pulau-pulau kecil lainnya di sebelah timur sampai Wanin, pantai barat Irian. Pada pertengahan abad keempat belas wilayah Sumatra yang dikuasai adalah: Jambi, Pelembang, Dharmasraya, Kandis, Kahwas, Siak, Rokan, Mandailing, Panai, Kampe, Haru, Temiang, Parlak, Samudra, Lamuri, Barus, Batan, Lampung. Wilayah Kalimantan (Tanjung Pura) adalah: Kapuas, Katingan, Sampit, Kota Lingga, Kota Waringin, Sambas, Lawai, Kandngan, Singkawang, Tirem, Landa, Sedu, Barune, Sukadana, Seludung, Solot, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjung Kutai, Malano. Wilayah Semenajung Tanah Melayu (Hujung Medini) adalah: Pahang, Langkasuka, Kelantan, Saiwang, Nagor, Paka, Muar, Dungun, Tumasik, Kelang, Kedah, Jerei. Sedangkan wilayah Timur Jawa adalah: Bali, Badahulu, Lo Gajah, Gurun, Sukun, Taliwang, Dompo, Sapi, Gunung Api, Seram, Hutan Kadali, Sasak, Bantayan, Luwuk, Makasar, Buton, Banggawi, Kunir, Galian, Selayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon atau Maluku, Wanin, Seram, dan Timor.
Menurut Budya Pradipta dalam makalah â€Bedah Naskah Nagarakretagama yang diselenggarakan Perpustakaan Nasional RI pada 2005, wilayah Majapahit dikelompokkan menjadi lima golongan, yaitu Jawa, Digantara, Nusantara, Desantara, dan Dwipantara. Jawa meliputi Nagara Majapahit, Jiwana, Singasari, Wengker, Lasem, Daha, Pajang, Matahun, Paguhan, Wirabhumi, Mataram, Pawwanawwan, dan Kebalan. Digantara artinya wilayah lain yaitu daerah yang takluk kepada raja Rajasanagara selain Jawa. Daerah tersebut adalah Pahang, Melayu, Gurun, dan bakulapura. Nusantara adalah pulau-pulau lain, yang termasuk Nusantara adalah Daerah melayu, daerah Tanjung Nagara, dan daerah Semenanjung Malaya. Desantara adalah segala penjuru, seluruh angkasa, daerah lain, dan negara lain, yang termasuk desantara adalah Syangka, Ayodyapura, Dharmanagari, marutama, Rajapura, Anghanagari, Campa, Kamboja. Dwipantara adalah kepulauan lain, yang termasuk dwipantara dan mitra adalah Yawana, Cina, Karnataka, dan Goda.
Pupuh kelimabelas hubungan dengan negara asing seperti Siam, Darmanegara, Singanagari, Campa, dan Kamboja.
Pupuh keenambelas sampai pupuh keenampuluh menceritaka tentang perjalanan keliling dari Majpahit ke Lumajang pada tahun 1959. Pupuh ni meupakan inti Nagara Kretagama.
Pupuh keenampuluh satu sampai pupuh keenampuluh dua menceritakan, pada tahun 1361, Sri Rajasanagara ke desa Simping, memperbaiki candi makam pembangun Majapahit Kertarajasa Jayawardhana.
Pupuh keenampuluh tiga sampai keenampuluh tujuh menceritakan, pada 1362 Sri Rajasanagara mengadakan upacara srada, memperingati nenek baginda Gayatri dari Singasari.
Pupuh keenampuluh delapan sampai enampuluh sembilan menceritakan sejarah pembagian kerajaan Kahuripan menjadi Jenggala dan Panjalu, serta menceritakan pembangunan candi Prajnyaparamitapuri sebagai lambang penyatuan kembali kerajaan Janggala dan Panjalu.
Pupuh ketujuh puluh sampai tujuh puluh tiga menceritakan perjalanan kembali dari desa Simping dan kematian Patih Gajah Mada. Dengan meninggalnya patih Gajah Mada, Sri Rajasanagara tidak mengangkat Patih Amangkubumi, tetapi dalam pemerintahan selanjutnya Sri Rajasanagara dibantu enam orang menteri. Menteri-menteri tersebut adalah Mpu Tandi sebagai menteri sepuh, Mpu Nala dengan gelar Tumenggung Amancanagara sebagai pembantu utama, Sang Pati Dami sebagai Menteri Anom dengan tugas segala urusan di dalam pura, Mpu Singa sebagai sekretaris negara yang bertugas menyaksikan segala keputusan raja, dan dua orang menteri yang membantu dalam pengadilan.
Pupuh ketujuh puluh empat sampai delapan puluh dua menceritakan nama-nama candi makam, tanah perdikan, asrama, desa kebudhaan, desa kesiwaan dalam kerajaan Majapahit, dan usaha raja dalam menyatukan tiga agama yaitu agama Siwa, Budha, dan wisnu.
Pupuh kedelapan puluh tiga menceritakan kesejahteraan pulau Jawa; tamu asing yang berkunjung; kirap atau perjalanan tahunan yang dilaksanakan setiap bulan Palguna.
Pupuh kedelapan puluh empat menceritakan lanjutan kirap keliling.
Pupuh kedelapan puluh lima menceritakan pertemuan setiap bulan Caitra, bulan pertama setiap tahun. Dalam pupuh tersebut juga membahas tentang jalannya pemerintahan untuk keselamatan negara, dihadiri para menteri, perwira, pembantu raja, kepala daerah, kepala desa, pendeta dari tiga aliran. Sega dursila harus disingkirkan, semua orang wajib menganut ajaran yang termuat dalam Rajapakakapa.
Pupuh kedelapan puluh enam sampai sembilan puluh dua menceritakan pesta besar di lapangan Bubat yang ditutup pada bulan Caitra. Keterangan lebih lanjut nama-nama bulan pada jaman Majapahit adalah: Caitra (Maret-April), Waisaka (April-Mei), Jyestha (Mei-Juni), Asadha (Juni-Juli), Srawana (Juli-Agustus), Bhadrapada (Agustus-September), Aswina (September-Oktober), Kartika (Oktober-Nopember) Margasirsa (Nopember-Desember), Pausa (Desember-Januari), Magda (Januari-Pebruari), Phalguna (Pebruari-Maret) (409). Bulan pertama adalah Caitra antara Maret-April).
Pupuh kesembilan puluh tiga sampai sembilan puluh empat menceritakan para pendeta yang menciptakan kakawin puja sastra, antara lain Budha Sri Aditya menggubah Sloka Bhogawali, Pendeta Mutali Saherdaya dan Upapati Sudharma menggubah sloka. Dan lima kakawin ciptaan Prapanca,yaitu Cakabda, lambang, Parwasagara, Bhismacaranantya, Sugataparwwawarnana.
Pupuh kesembilan puluh lima sampai sembilan puluh delapan meceritakan nasib sang pujangga Mpu Pra Panca.
Artikel ini ditulis oleh Suyatno
Perpustakaan Nasional RI
Label:
kuno,
Naskah,
negarakertagama,
sejarah Indonesia
Minggu, 17 Januari 2010
Nama Presiden Soekarno
Asal Muasal Nama Presiden Soekarno
Nama lengkap Soekarno ketika lahir adalah Kusno Sosrodihardjo. Ketika masih kecil, karena sering sakit-sakitan, menurut kebiasaan orang Jawa; oleh orang tuanya namanya diganti menjadi Soekarno. Di kemudian hari ketika menjadi Presiden R.I., ejaan nama Soekarno diganti olehnya sendiri menjadi Sukarno karena menurutnya nama tersebut menggunakan ejaan penjajah (Belanda). Ia tetap menggunakan nama Soekarno dalam tanda tangannya karena tanda tangan tersebut adalah tanda tangan yang tercantum dalam Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang tidak boleh diubah.
Sebutan akrab untuk Ir. Soekarno adalah Bung Karno.
[sunting] Ahmad Soekarno
Di beberapa negara Barat, nama Soekarno kadang-kadang ditulis Ahmad Soekarno. Hal ini terjadi karena ketika Soekarno pertama kali berkunjung ke Amerika Serikat, sejumlah wartawan bertanya-tanya, "Siapa nama kecil Soekarno?" karena mereka tidak mengerti kebiasaan sebagian masyarakat di Indonesia yang hanya menggunakan satu nama saja atau tidak memiliki nama keluarga. Entah bagaimana, seseorang lalu menambahkan nama Ahmad di depan nama Soekarno. Hal ini pun terjadi di beberapa Wikipedia. Dalam buku biografi Sukarno yang ditulis oleh Cindy Adams (Soekarno, an autobiografy as told Cindy Adams)kemudian diterjemahkan dengan Sukarno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Sukarno menyebutkan bahwa nama Ahmad di dapatnya ketika menunaikan ibadah haji. Dan dalam beberapa versi lain, disebutkan pemberian nama Ahmad di depan nama Sukarno, dilakukan oeh para diplomat muslim asal Indonesia yang sedang melakukan misi luar negeri dalam upaya untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan negara Indonesia oleh negara-negara Arab.
Dibawah Lentera Merah - Soe Hok Gie
Di Bawah Lentera Merah adalah buku karangan Soe Hok Gie yang menarasikan satu periode krusial dalam sejarah Indonesia yaitu ketika benih-benih gagasan kebangsaan mulai disemaikan, antara lain lewat upaya berorganisasi. Melalui sumber data berupa kliping-kliping koran antara tahun 1917-1920-an dan wawancara autentik yang berhasil dilakukan terhadap tokoh-tokoh sejarah yang masih tersisa, penulisnya mencoba melacak bagaimana bentuk pergerakan Indonesia, apa gagasan substansialnya, serta upaya macam apa yang dilakukan oleh para tokoh Sarekat Islam Semarang pada kurun waktu 1917-an.
Di bawah pimpinan Semaoen, para pendukung Sarekat Islam berasal dari kalangan kaum buruh dan rakyat kecil. Pergantian pengurus itu adalah wujud pertama dari perubahan gerakan Sarekat Islam Semarang dari gerakan kaum menangah menjadi gerakan kaum buruh dan tani. Saat itu menjadi sangat penting artinya bagi sejarah modern Indonesia karena menjadi tonggak kelahiran gerakan kaum Marxis pertama di Indonesia.
Pertimbangan lain mengapa Di Bawah Lentera Merah menjadi penting adalah karena buku ini memotret bagaimana gagasan transformasi modernisasi berproses dari wacana tradisional ke wacana modern. Lebih khusus lagi Soe Hok Gie, melalui buku ini, mengajak kita mencermati bagaimana para tokoh tradisionalis lokal tahun 1917-an mencoba menyikapi perubahan pada abad ke-20 yang dalam satu dan lain hal, punya andil menjadikan wajah bangsa Indonesia seperti sekarang ini.
Buku ini diterbitkan oleh Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta tahun 1999.
Soe Hok Gie adalah salah seorang aktivis Indonesia dan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun 1962–1969. Ia adalah seorang anak muda yang berpendirian yang teguh dalam memegang prinsipnya dan rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku harian.
Di Bawah Lentera Merah adalah buku karangan Soe Hok Gie yang menarasikan satu periode krusial dalam sejarah Indonesia yaitu ketika benih-benih gagasan kebangsaan mulai disemaikan, antara lain lewat upaya berorganisasi.
Dalam buku ini Soe Hok Gie juga mengajak kita menelusuri kembali jejak-jejak pergerakan indonesia pada era 1917-1920-an dan lewat buku ini juga Soe Hok gie mencoba menyalakan lentera merah perjuangan pergerakan indonesia dan mengajak kita mencermati bagaimana para tokoh pergerakan tradisionalis indonesia mencoba menyikapi perubahan pada abad ke-20.
Kalau buat saya Buku ini menarik karena disana tercermin keadaan Bangsa Indonesia di era tahun 1920 an. Buku ini dulu sempat dilarang beredar, pada masa orde baru. Setelah saya membaca buku ini, bertambahlah wawasan saya memandang keadaan Bangsa Indonesia di waktu lampau.
Di bawah pimpinan Semaoen, para pendukung Sarekat Islam berasal dari kalangan kaum buruh dan rakyat kecil. Pergantian pengurus itu adalah wujud pertama dari perubahan gerakan Sarekat Islam Semarang dari gerakan kaum menangah menjadi gerakan kaum buruh dan tani. Saat itu menjadi sangat penting artinya bagi sejarah modern Indonesia karena menjadi tonggak kelahiran gerakan kaum Marxis pertama di Indonesia.
Pertimbangan lain mengapa Di Bawah Lentera Merah menjadi penting adalah karena buku ini memotret bagaimana gagasan transformasi modernisasi berproses dari wacana tradisional ke wacana modern. Lebih khusus lagi Soe Hok Gie, melalui buku ini, mengajak kita mencermati bagaimana para tokoh tradisionalis lokal tahun 1917-an mencoba menyikapi perubahan pada abad ke-20 yang dalam satu dan lain hal, punya andil menjadikan wajah bangsa Indonesia seperti sekarang ini.
Buku ini diterbitkan oleh Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta tahun 1999.
Soe Hok Gie adalah salah seorang aktivis Indonesia dan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun 1962–1969. Ia adalah seorang anak muda yang berpendirian yang teguh dalam memegang prinsipnya dan rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku harian.
Di Bawah Lentera Merah adalah buku karangan Soe Hok Gie yang menarasikan satu periode krusial dalam sejarah Indonesia yaitu ketika benih-benih gagasan kebangsaan mulai disemaikan, antara lain lewat upaya berorganisasi.
Dalam buku ini Soe Hok Gie juga mengajak kita menelusuri kembali jejak-jejak pergerakan indonesia pada era 1917-1920-an dan lewat buku ini juga Soe Hok gie mencoba menyalakan lentera merah perjuangan pergerakan indonesia dan mengajak kita mencermati bagaimana para tokoh pergerakan tradisionalis indonesia mencoba menyikapi perubahan pada abad ke-20.
Kalau buat saya Buku ini menarik karena disana tercermin keadaan Bangsa Indonesia di era tahun 1920 an. Buku ini dulu sempat dilarang beredar, pada masa orde baru. Setelah saya membaca buku ini, bertambahlah wawasan saya memandang keadaan Bangsa Indonesia di waktu lampau.
Jumat, 15 Januari 2010
Harga Pembelian Padi 23 Maret 1943
Tentang harga pembelian padi jang paling rendah
Pasal 1.
Harga pembelian padi jang paling rendah bagi peroesahaan penggilingan padi oentoek tahoen-boekoe 2603 (dari tanggal 1, boelan 4, tahoen 2603 sampai tanggal 31, boelan 3, tahoen 2604) ditetapkan seperti berikoet:
Tiap-tiap 100 kilogram, diterimaditempat penggilingan padi:
1. P a d i b o e l o e f 3.80 (sebagai dasar ditetapkan 56% beras setengah toemboek jang dapat diperoleh dari padi boeloe itoe);
2. P a d i t j e r e f 3.45 (sebagai dasar ditetapkan 58% beras setengah toemboek jang dapat diperoleh dari padi tjere itoe);
3. G a b a h f 4.15 (sebagai dasar ditetapkan 64% beras setengah toemboek jang dapat diperoleh dari gabah itoe).
Pasal 2.
Peroesahaan penggilingan padi tidak boleh membeli padi dengan harga jang lebih rendah dari pada harga pembelian jang paling rendah jang ditetapkan dalam pasal 1.
Barang siapa melanggar atoeran dalam ajat diatas dihoekoem pendjara, atau dihoekoem denda paling sedikit f 10.-(sepoeloeh roepiah).
Atoeran tambahan
Oendang-oendang ini moelai berlaku pada tanggal 1, boelan 4, tahun Syoowa 18 (2603).
Tg. 23, bl. 3, th. Syoowa 18 (2603)
Pasal 1.
Harga pembelian padi jang paling rendah bagi peroesahaan penggilingan padi oentoek tahoen-boekoe 2603 (dari tanggal 1, boelan 4, tahoen 2603 sampai tanggal 31, boelan 3, tahoen 2604) ditetapkan seperti berikoet:
Tiap-tiap 100 kilogram, diterimaditempat penggilingan padi:
1. P a d i b o e l o e f 3.80 (sebagai dasar ditetapkan 56% beras setengah toemboek jang dapat diperoleh dari padi boeloe itoe);
2. P a d i t j e r e f 3.45 (sebagai dasar ditetapkan 58% beras setengah toemboek jang dapat diperoleh dari padi tjere itoe);
3. G a b a h f 4.15 (sebagai dasar ditetapkan 64% beras setengah toemboek jang dapat diperoleh dari gabah itoe).
Pasal 2.
Peroesahaan penggilingan padi tidak boleh membeli padi dengan harga jang lebih rendah dari pada harga pembelian jang paling rendah jang ditetapkan dalam pasal 1.
Barang siapa melanggar atoeran dalam ajat diatas dihoekoem pendjara, atau dihoekoem denda paling sedikit f 10.-(sepoeloeh roepiah).
Atoeran tambahan
Oendang-oendang ini moelai berlaku pada tanggal 1, boelan 4, tahun Syoowa 18 (2603).
Tg. 23, bl. 3, th. Syoowa 18 (2603)
Syarat Masuk keanggotaan tentara PETA 1940
Pada tanggal 3 Oktober 1943 Letnan Jendral Kumakichi Harada mengumumkan pembentukan PETA melalui Peraturan Pemerintah (Osamu Seeree) no. 44 pasal 1 mengenai pembentukan Jawa Booei Giyuugun. Peraturan ini dikeluarkan sebagai tanggapan atas surat permohonan pembentukan tentara sukarela oleh Gatot Mangkoepraja.
Seluruh anggota Peta, seperti yang terdapat dalam pasal 2, adalah orang Indonesia. Hal ini juga ditegaskan dalam pengumuman mengenai Jawa Booei Giyuugun butir pertama.
Osamu Seirei No. 44
Tentang pembentoekan pesoekan soeka-rela oentoek membela Tanah Djawa
Pasal 1
Mengingat semangat jang berkobar-kobar serta djoega memenoehi keinginan jang sangat dari 50 djoeta pendoedoek di Djawa, jang hendak membela tanah airnja dengan sendiri, maka balatentara Dai Nippon membentoek Tentara Pembela Tanah Air, jakni pasoekan soeka-rela oentoek membela Tanah Djawa dengan pendoedoek asli, ialah berdiri atas dasar tjita-tjita membela Asia Timoer Raja bersama.
Pasal 2
Pasoekan soeka-rela Tentara Pembela Tanah Air ini, dibentoek dengan pendoedoek asli jang memadjoekan diri oentoek kewadjiban membela tanah airnja, dan ditempatkan di dalamnja sedjoemlah opsir Nippon sebagai pendidik.
Pasal 3
Pesoekan soeka-rela Tentara Pembela Tanah Air termasoek di bawah pimpinan Saikoo Sikikan dan wadjib menerima perintahnya.
Pasal 4
Pasoekan soeka-rela Tentara Pembela Tanah Air ini haroes insaf akan tjita-tjita dan kepentingan pekerdjaan pembela tanah air, serta wadjib toeroet membela tanah airnja di dalam Syuu masing-masing terhadap negeri sekoetoe, di bawah pimpinan Balatentara Dai Nippon.
Atoeran Tambahan
Oendang-oendang ini moelai berlaku pada hari dioemoemkan.
Djakarta, tanggal 3, boelan 10
Tahoen Syoowa 18 (2603)
Saikoo Sikikan[1]
Kedudukan organisasi Peta adalah dibawah pimpinan langsung dari Saikoo Shikikan, dan lepas dari badan pemerintahan maupun badan lainnya. Hal ini dijelaskan kembali dalam “Penjelasan Oendang-oendang pasal 3”:
Begitoe joega halnja dengan Tentera Pembela Tanah Air jang akan disoesoen di Djawa. Pasoekan soeka-rela itoe haroes ada dibawah pimpinan langsoeng dari Saikoo Sikikan, berdiri sendiri terpisah dari badan pemerintahan atau badan-badan lain.[2]
Syarat untuk menjadi anggota PETA sesuai dengan koran Djawa Baroe tanggal 15 Oktober 1943 dikemukakan sebagai berikut:
(1) Syarat sebagai opsir:
a. Riwayat pendidikan tidak diperhatikan, memiliki jiwa kepemimpinan.
b. Berpikiran sehat dan memiliki semangat teguh.
c. Berbadan tegap dan kuat.
d. Umur tidak diperhatikan tetapi untuk opsir dengan pangkat letnan 1 dan letnan 2 harus berumur di bawah 30 tahun.
(2) Syarat untuk menjadi opsir rendah dan serdadu:
a. Riwayat pendidikan tidak diperhatikan, tetapi memiliki badan tegap dan kuat.
b. Berumur kurang dari 25 tahun, dan belum menikah dan belum memiliki anak.
ternyata untuk menjadi tentara PETA ada aturannya juga, berarti tidak semua pemuda Indonesia bisa jadi tentara PETA waktu itu
Kunjungan Hideki Tojo ke Indonesia 1943
Ketika saya sedang iseng browsing, saya menemukan sebuah artikel dari koran lama yang memuat tentang kunjungan Perdana Menteri Jepang, Hideki Tojo ke Indonesia tahun 1943, konon P.M. Tojo ini dihukum mati karena masalah HAM. Memang pada masa itu, jepang sangat aktif berpropaganda mendukung gerakan 3 A (Nippon cahaya Asia, Nippon pelindung Asia, Nippon Pemimpin Asia) Lalu saya coba iseng untuk mencari siapa sih Mr. Tojo ini. Akhirnya saya temukan juga ....
Hideki Tojo (東條 英機 Tōjō Hideki) (30 Desember 1884–23 Desember 1948) adalah jenderal Jepang dan PM ke-40 Jepang (18 Oktober 1941-22 Juli 1944). Tojo ialah anggota klik tentara yang mendorong Jepang dalam perang di akhir 1930-an. Sebagai Menteri Perang pada 1940 ialah penolong dalam kepemimpinan Jepang dalam Blok Axis dengan Jerman Nazi dan Italia. Di antara keputusannya ialah izin persetujuan pemerintah dalam percobaan biologis terhadap para tawanan perang.
Mulai 1941, Tojo ialah PM dan menguasai seluruh militer Jepang, yang begitu mendominasi Jepang saat itu yang ia sesungguhnya ialah diktator bangsa. Ia digantikan pada 1944 menyusul serentetan kekalahan tentara Jepang. Setelah perang, ia menembak dirinya sendiri di dada untuk bunuh diri namun gagal.
Tojo dalam tahanan
Ia kemudian diadili oleh Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh sebagai penjahat perang. Ia dinyatakan bersalah atas tuduhan 1 (peperangan agresi, dan perang dalam pelanggaran terhadap hukum internasional), tuduhan 27 (mengadakan perang tak beralasan terhadap Tiongkok), tuduhan 29 (peperangan agresif melawan AS), tuduhan 31 (mengadakan perang agresif melawan Persemakmuran Inggris), tuduhan 32 (mengadakan perang agresif melawan Belanda), tuduhan 33 (mengadakan perang agresif melawan Perancis (Indochina)), dan tuduhan 54 (memerintahkan, membenarkan, dan mengizinkan perlakuan tak berperikemanusiaan terhadap penjahat perang dan lainnya). Ia divonis mati pada 12 November 1948, dan menerima hukuman gantung.
Karena perbuatan kriminal di bawah otoritasnya, Tojo dianggap bertanggung jawab membunuh hampir 4 juta orang-orang Tionghoa.
Serangan Umum 1 Maret 1949
Tanggal 1 Maret 1949, pagi hari, serangan secara besar-besaran yang serentak dilakukan di seluruh wilayah Divisi III/GM III dimulai, dengan fokus serangan adalah Ibukota Republik, Yogyakarta, serta kota-kota di sekitar Yogyakarta, terutama Magelang, sesuai Instruksi Rahasia yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng kepada Komandan Wehrkreis I, Letkol Bahrun dan Komandan Wehrkreis II Letkol Sarbini. Pada saat yang bersamaan, serangan juga dilakukan di wilayah Divisi II/GM II, dengan fokus penyerangan adalah kota Solo, guna mengikat tentara Belanda dalam pertempuran agar tidak dapat mengirimkan bantuan ke Yogyakarta.
Mengenai operasi militer ini, di dalam buku yang diterbitkan oleh SESKOAD tertulis:
Serangan umum yang akan dilaksanakan oleh WK III sesungguhnya merupakan operasi sentral dari seluruh operasi yang dilaksanakan oleh GM III Kolonel Bambang Sugeng. Pasukan tetangga yang pada saat itu sedang melakukan operasi untuk mengimbangi serangan umum WK III ialah pasukan GM II yang melaksanakan operasi di daerah Surakarta (Solo) dan Wehrkreis II Divisi III yang melaksanakan operasi di daerah Kedu/Magelang.
Pos komando ditempatkan di desa Muto. Pada malam hari menjelang serangan umum itu, pasukan telah merayap mendekati kota dan dalam jumlah kecil mulai disusupkan ke dalam kota. Pagi hari sekitar pukul 06.00, sewaktu sirene dibunyikan serangan segera dilancarkan ke segala penjuru kota. Dalam penyerangan ini Letkol Soeharto langsung memimpin pasukan dari sektor barat sampai ke batas Malioboro. Sektor barat dipimpin Ventje Sumual, sektor selatan dan timur dipimpim Mayor Sardjono, sektor utara oleh Mayor Kusno. Sedangkan untuk sektor kota sendiri ditunjuk Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki sebagai pimpinan. TNI berhasil menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam. Tepat pukul 12.00 siang, sebagaimana yang telah ditentukan semula pasukan TNI mengundurkan diri.
Serangan terhadap kota Solo yang juga dilakukan secara besar-besaran, dapat menahan Belanda di Solo sehingga tidak dapat mengirim bantuan dari Solo ke Yogyakarta, yang sedang diserang secara besar-besaran oleh pasukan Brigade X yang diperkuat dengan satu Batalyon dari Brigade IX, sedangkan serangan terhadap pertahanan Belanda di Magelang dan penghadangan di jalur Magelang – Yogyakarta yang dilakukan oleh Brigade IX, hanya dapat memperlambat gerak pasukan bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tentara Belanda dari Magelang dapat menerobos hadangan gerilyawan Republik, dan sampai di Yogyakarta sekitar pukul 11.00.
Mengenai serangan tersebut, pihak Belanda memberikan keterangan sbb.:
Hari Selasa pagi tanggal 1 Maret lebih kurang pukul 04.00 pos-pos Belanda yang berada di perbatasan Kota Yogya telah ditembaki. Tepat pukul 06.00 di pelbagai tempat di dalam kota terjadi penembakan secara gencar. Dua serangan telah dilakukan oleh gerombolan-gerombolan kuta dari jurusan barat, sedang percobaan serangan ketiga dilakukan dari jurusan selatan, di mana terletak Kraton-dalam. Segera militer Belanda mengambil tindakan untuk mematahkan serangan-serangan itu. Dengan melintas kota sebuah kolone dikerahkan ke tempat yang terancam di selatan kota itu guna menghadapi gerombolan yang menyerang. Kolone terebut ditembaki dengan hebat dari bagian kraton luar. Setelah berhasil mencapai tembok utara kraton-dalam, mereka lalu ditembaki dari arah kraton. Tembakan juga datang dari penembak-penembak yang bersembunyi di pohon-pohon halaman kraton-dalam.
Karena itu komandan kolone minta supaya diizinkan memasuki kraton, permintaan mana segera dikabulkan oleh Sri Sultan sendiri. Sri Sultan menerangkan, bahwa di halaman kraton-dalam tidak ada anggota gerombolan yang menyerang. Penyelidikan lebih lanjut dilakukan.
Kekacauan berakhir lebih kurang pukul 11 pagi. Ditaksir ada kira-kira 2.000 orang anggota gerombolan yang setelah menyusun kekuatannya di sekitar kota, melancarkan serangan ke dalam kota. Para penyerang, yang sebagian bersenjakan kuat, telah dapat dicerai-beraikan di semua tempat dengan menderita kerugian besar dan terpaksa meninggalkan sejumlah besar senjatanya.
Source : www.wikipedia.com
Perang Bubat
Perang Bubat adalah perang yang diceritakan pernah terjadi pada masa pemerintahan raja Majapahit, Hayam Wuruk dengan mahapatihnya Gajah Mada. Perang ini melibatkan sejumlah besar pasukan kerajaan Majapahit pimpinan Mahapatih Gajah Mada melawan sekelompok kecil pasukan kerajaan Sunda pimpinan Prabu Maharaja Linggabuana, di desa pelabuhan Bubat, Jawa Timur pada abad ke-14 di sekitar tahun 1360 masehi.
Pertempuran yang sangat tidak seimbang tsb dimenangkan secara mutlak oleh pihak Majapahit. Pasukan kerajaan Sunda dibantai habis termasuk komandannya yang juga raja kerajaan Sunda, Prabu Maharaja Linggabuana. Dan tidak cuma itu, permaisuri dan putri raja Sunda bernama Dyah Pitaloka Citraresmi - yang sedianya akan dinikahkan dengan raja Hayam Wuruk - ikut tewas dengan cara bunuh diri setelah meratapi mayat ayahnya.
Diceritakan bahwa timbulnya perang ini akibat kesalahpahaman mahapatih Gajah Mada saat melihat raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit sunda. Gajah Mada menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di pelabuhan Bubat sebagai bentuk penyerahan diri kerajaan Sunda kepada Majapahit. Hal ini menimbulkan perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada, dan memuncak hingga terjadi perang terbuka.
Sumber Sejarah yang Meragukan
Sumber tertua yang bisa dijadikan rujukan mengenai adanya Perang Bubat ternyata hanya sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa Pertengahan berbentuk tembang (syair) dan kemungkinan besar berasal dari Bali, berjudul Kidung Sunda. Pakar sejarah Belanda bernama Prof. Dr. C.C. Berg pada awal tahun 1920an menemukan beberapa versi Kidung Sunda, diantaranya Kidung Sundayana, yang merupakan versi sederhana dari versi aslinya.
Secara analisis, Kidung Sunda harus dianggap sebagai karya sastra, dan bukan sebuah kronik sejarah yang akurat. Meskipun kemungkinan besar berasal dari Bali, tetapi tidak jelas apakah syair tsb. ditulis di Jawa atau di Bali.
Kemudian nama penulis tidak diketahui dan masa penulisannyapun tidak diketahui secara pasti. Di dalam teks disebut-sebut tentang senjata api, ini menunjukkan kemungkinan bahwa Kidung Sunda baru ditulis paling tidak sekitar abad ke-16, saat orang nusantara baru mengenal mesiu, kurang lebih dua abad dari era Hayam Wuruk.
Lebih menarik lagi adalah bahwa dalam Kidung Sunda ternyata tidak disebutkan nama raja Sunda, ratu/permaisuri, dan putri raja. Diduga nama Maharaja Prabu Linggabuana dan nama putri Dyah Pitaloka Citraresmi sengaja diambil karena bertepatan pada tahun-tahun 1360an tersebut dia memang merupakan raja Sunda dan putrinya.
Perlu di perhatikan pula bahwa catatan peristiwa Perang Bubat tidak terdapat di dalam kitab utama peninggalan Majapahit, Negarakretagama, yang notabene ditulis oleh empu Prapanca sekitar tahun 1365 (satu tahun sepeninggal Gajah Mada). Adalah hampir tidak mungkin jika peristiwa besar sekaliber Perang Bubat dan belum lama terjadi tidak tercatat dalam kitab itu. Hanya disebutkan bahwa desa Bubat adalah suatu tempat yang memiliki lapangan yang luas, dan raja Hayam Wuruk pernah mengunjunginya untuk melihat pertunjukan seni dan hiburan.
Rekayasa oleh Penjajah ?
Perlu dikemukakan bahwa sang penulis Kidung Sunda (yang belum diketahui orangnya) lebih berpihak pada orang Sunda dan seperti sudah dikemukakan, seringkali bertentangan dengan sumber-sumber sejarah lainnya.
Sepertinya kita perlu curiga bahwa cerita tentang Perang Bubat dalam Kidung Sunda adalah fiksi belaka dan merupakan rekayasa dari pihak penjajah (Belanda ?) untuk tujuan perpecahan antar suku di pulau Jawa. Bisa jadi syair tersebut diciptakan sendiri oleh ilmuwan Prof. Dr. C.C.Berg atas perintah penguasa kolonial. Hal ini perlu adanya kajian yang lebih mendalam.
Akibat yang fatal yang telah dirasakan oleh bangsa kita atas rekayasa tersebut (kalau memang benar) adalah adanya sikap etnosentrisme orang Sunda terhadap orang Jawa, dan juga pandangan yang sangat negatif orang Sunda terhadap tokoh/figur Gajah Mada (di Jawa Barat hingga saat ini mungkin tidak ditemukan nama jalan; Gajah Mada).
Semoga bangsa kita tetap bersatu dan tidak ada lagi rasa sentimen kesukuan. Karena sikap etnosentrisme tidak lain adalah hasil dari rekayasa politik pemecah belah si penjajah.
Sumber-sumber:
- Perang Bubat, Wikipedia
- Kidung Sunda, Wikipedia
- Kitab Negarakretagama (Terjemahan), Maulanusantara, 2008
- Sejarah Mentalitas Masyarakat Sunda, Vika Chorianti, Unair, Surabaya,2006
Pertempuran yang sangat tidak seimbang tsb dimenangkan secara mutlak oleh pihak Majapahit. Pasukan kerajaan Sunda dibantai habis termasuk komandannya yang juga raja kerajaan Sunda, Prabu Maharaja Linggabuana. Dan tidak cuma itu, permaisuri dan putri raja Sunda bernama Dyah Pitaloka Citraresmi - yang sedianya akan dinikahkan dengan raja Hayam Wuruk - ikut tewas dengan cara bunuh diri setelah meratapi mayat ayahnya.
Diceritakan bahwa timbulnya perang ini akibat kesalahpahaman mahapatih Gajah Mada saat melihat raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit sunda. Gajah Mada menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di pelabuhan Bubat sebagai bentuk penyerahan diri kerajaan Sunda kepada Majapahit. Hal ini menimbulkan perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada, dan memuncak hingga terjadi perang terbuka.
Sumber Sejarah yang Meragukan
Sumber tertua yang bisa dijadikan rujukan mengenai adanya Perang Bubat ternyata hanya sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa Pertengahan berbentuk tembang (syair) dan kemungkinan besar berasal dari Bali, berjudul Kidung Sunda. Pakar sejarah Belanda bernama Prof. Dr. C.C. Berg pada awal tahun 1920an menemukan beberapa versi Kidung Sunda, diantaranya Kidung Sundayana, yang merupakan versi sederhana dari versi aslinya.
Secara analisis, Kidung Sunda harus dianggap sebagai karya sastra, dan bukan sebuah kronik sejarah yang akurat. Meskipun kemungkinan besar berasal dari Bali, tetapi tidak jelas apakah syair tsb. ditulis di Jawa atau di Bali.
Kemudian nama penulis tidak diketahui dan masa penulisannyapun tidak diketahui secara pasti. Di dalam teks disebut-sebut tentang senjata api, ini menunjukkan kemungkinan bahwa Kidung Sunda baru ditulis paling tidak sekitar abad ke-16, saat orang nusantara baru mengenal mesiu, kurang lebih dua abad dari era Hayam Wuruk.
Lebih menarik lagi adalah bahwa dalam Kidung Sunda ternyata tidak disebutkan nama raja Sunda, ratu/permaisuri, dan putri raja. Diduga nama Maharaja Prabu Linggabuana dan nama putri Dyah Pitaloka Citraresmi sengaja diambil karena bertepatan pada tahun-tahun 1360an tersebut dia memang merupakan raja Sunda dan putrinya.
Perlu di perhatikan pula bahwa catatan peristiwa Perang Bubat tidak terdapat di dalam kitab utama peninggalan Majapahit, Negarakretagama, yang notabene ditulis oleh empu Prapanca sekitar tahun 1365 (satu tahun sepeninggal Gajah Mada). Adalah hampir tidak mungkin jika peristiwa besar sekaliber Perang Bubat dan belum lama terjadi tidak tercatat dalam kitab itu. Hanya disebutkan bahwa desa Bubat adalah suatu tempat yang memiliki lapangan yang luas, dan raja Hayam Wuruk pernah mengunjunginya untuk melihat pertunjukan seni dan hiburan.
Rekayasa oleh Penjajah ?
Perlu dikemukakan bahwa sang penulis Kidung Sunda (yang belum diketahui orangnya) lebih berpihak pada orang Sunda dan seperti sudah dikemukakan, seringkali bertentangan dengan sumber-sumber sejarah lainnya.
Sepertinya kita perlu curiga bahwa cerita tentang Perang Bubat dalam Kidung Sunda adalah fiksi belaka dan merupakan rekayasa dari pihak penjajah (Belanda ?) untuk tujuan perpecahan antar suku di pulau Jawa. Bisa jadi syair tersebut diciptakan sendiri oleh ilmuwan Prof. Dr. C.C.Berg atas perintah penguasa kolonial. Hal ini perlu adanya kajian yang lebih mendalam.
Akibat yang fatal yang telah dirasakan oleh bangsa kita atas rekayasa tersebut (kalau memang benar) adalah adanya sikap etnosentrisme orang Sunda terhadap orang Jawa, dan juga pandangan yang sangat negatif orang Sunda terhadap tokoh/figur Gajah Mada (di Jawa Barat hingga saat ini mungkin tidak ditemukan nama jalan; Gajah Mada).
Semoga bangsa kita tetap bersatu dan tidak ada lagi rasa sentimen kesukuan. Karena sikap etnosentrisme tidak lain adalah hasil dari rekayasa politik pemecah belah si penjajah.
Sumber-sumber:
- Perang Bubat, Wikipedia
- Kidung Sunda, Wikipedia
- Kitab Negarakretagama (Terjemahan), Maulanusantara, 2008
- Sejarah Mentalitas Masyarakat Sunda, Vika Chorianti, Unair, Surabaya,2006
Airlangga
# Asal Usul
Airlangga merupakan putera pasangan Mahendradatta (puteri dari Wangsa Isyana, Medang) dan Udayana (raja Wangsa Warmadewa, Bali). Ia dibesarkan di istana Watugaluh (Kerajaan Medang) di bawah pemerintahan raja Dharmawangsa. Waktu itu Medang menjadi kerajaan yang cukup kuat, bahkan mengadakan penaklukan ke Bali, mendirikan koloni di Kalimantan Barat, serta mengadakan serangan ke Sriwijaya.
Pada tahun 1006, ketika Airlangga berusia 16 tahun, Sriwijaya mengadakan pembalasan atas Medang. Wurawari (sekutu Sriwijaya) membakar Istana Watugaluh, Dharmawangsa beserta para bangsawan tewas dalam serangan itu. Airlangga berhasil melarikan diri ke hutan, dan menjadi pendeta (pertapa), ditemani oleh pengawalnya, Narotama.
Setelah beberapa tahun berada di hutan, akhirnya pada tahun 1019, Airlangga berhasil mempersatukan wilayah kerajaan Medang yang telah pecah, membangun kembali kerajaan, dan berdamai dengan Sriwijaya. Kerajaan baru ini dikenal dengan Kerajaan Kahuripan, yang wilayahnya membentang dari Pasuruan di timur hingga Madiun di barat. Airlangga dikenal sebagai model toleransi beragama, sebagai pelindung agama Hindu Syiwa dan Buddha. Airlangga memperluas wilayah kerajaan hingga ke Jawa Tengah dan Bali. Pada tahun 1025, Airlangga memperluas kekuasaan dan pengaruh Kahuripan seiring dengan melemahnya Sriwijaya. Pantai utara Jawa, terutama Surabaya dan Tuban, menjadi pusat perdagangan yang penting untuk pertama kalinya.
Di bawah pemerintahan Airlangga, seni sastra berkembang. Tahun 1035, Mpu Kanwa menggubah kitab Arjuna Wiwaha, yang diadaptasi dari epik Mahabharata. Kitab tersebut menceritakan Arjuna, inkarnasi Wisnu yang tak lain adalah kiasan Airlangga sendiri.
Pada akhir hayatnya, Airlangga berhadapan dengan masalah suksesi. Pewarisnya, Sanggramawijaya, memilih menjadi pertapa ketimbang menjadi suksesor Airlangga. Ia dikaitkan dengan legenda Dewi Kilisuci dan Gua Selomangleng di Gunung Klothok, 5 KM arah barat kota Kediri. Pada tahun 1045, Airlangga membagi Kahuripan menjadi dua kerajaan untuk dua puteranya: Janggala dan Kadiri. Airlangga sendiri menjadi pertapa, dan meninggal tahun 1049.
Airlangga merupakan putera pasangan Mahendradatta (puteri dari Wangsa Isyana, Medang) dan Udayana (raja Wangsa Warmadewa, Bali). Ia dibesarkan di istana Watugaluh (Kerajaan Medang) di bawah pemerintahan raja Dharmawangsa. Waktu itu Medang menjadi kerajaan yang cukup kuat, bahkan mengadakan penaklukan ke Bali, mendirikan koloni di Kalimantan Barat, serta mengadakan serangan ke Sriwijaya.
Pada tahun 1006, ketika Airlangga berusia 16 tahun, Sriwijaya mengadakan pembalasan atas Medang. Wurawari (sekutu Sriwijaya) membakar Istana Watugaluh, Dharmawangsa beserta para bangsawan tewas dalam serangan itu. Airlangga berhasil melarikan diri ke hutan, dan menjadi pendeta (pertapa), ditemani oleh pengawalnya, Narotama.
Setelah beberapa tahun berada di hutan, akhirnya pada tahun 1019, Airlangga berhasil mempersatukan wilayah kerajaan Medang yang telah pecah, membangun kembali kerajaan, dan berdamai dengan Sriwijaya. Kerajaan baru ini dikenal dengan Kerajaan Kahuripan, yang wilayahnya membentang dari Pasuruan di timur hingga Madiun di barat. Airlangga dikenal sebagai model toleransi beragama, sebagai pelindung agama Hindu Syiwa dan Buddha. Airlangga memperluas wilayah kerajaan hingga ke Jawa Tengah dan Bali. Pada tahun 1025, Airlangga memperluas kekuasaan dan pengaruh Kahuripan seiring dengan melemahnya Sriwijaya. Pantai utara Jawa, terutama Surabaya dan Tuban, menjadi pusat perdagangan yang penting untuk pertama kalinya.
Di bawah pemerintahan Airlangga, seni sastra berkembang. Tahun 1035, Mpu Kanwa menggubah kitab Arjuna Wiwaha, yang diadaptasi dari epik Mahabharata. Kitab tersebut menceritakan Arjuna, inkarnasi Wisnu yang tak lain adalah kiasan Airlangga sendiri.
Pada akhir hayatnya, Airlangga berhadapan dengan masalah suksesi. Pewarisnya, Sanggramawijaya, memilih menjadi pertapa ketimbang menjadi suksesor Airlangga. Ia dikaitkan dengan legenda Dewi Kilisuci dan Gua Selomangleng di Gunung Klothok, 5 KM arah barat kota Kediri. Pada tahun 1045, Airlangga membagi Kahuripan menjadi dua kerajaan untuk dua puteranya: Janggala dan Kadiri. Airlangga sendiri menjadi pertapa, dan meninggal tahun 1049.
Sabtu, 09 Januari 2010
Nasib pelajaran sejarah indonesia
Pada banyak sekolah dasar swasta, pelajaran sejarah indonesia sering kali diabaikan. Beberapa sekolah bahkan lebih memilih untuk mengajarkan sejarah dunia dari pada sejarah nusantara. Hal ini tentu saja membuat anak anak indonesia tidak mengerti mengenai perjuangan pahlawan pahlawan yg telah berkorban untuk indonesia. Malahan ada beberapa murid sd yg tidak tahu siapa ki hajar dewantara, pangeran diponegoro, dan banyak pahlawan lainnya. Ini tentu sangat memprihatinkan.
Jumat, 08 Januari 2010
Ismail Marzuki
Ismail Marzuki adalah salah seorang komponis besar Indonesia yang lahir pada tahun 1914 di Kwitang, Jakarta Pusat. Namanya sekarang diabadikan sebagai suatu pusat seni di Jakarta yaitu Taman Ismail Marzuki (TIM) di kawasan Salemba, Jakarta Pusat.
Ismail Marzuki yang lebih dikenal dengan panggilan Maing ini, memang memiliki bakat seni yang sulit dicari bandingannya. Sosoknya pun mengagumkan. Ia terkenal sebagai pemuda yang berkepribadian luhur dan tergolong anak pintar. Ismail sejak muda senang tampil necis. Bajunya disetrika licin, sepatunya mengkilat dan ia senang berdasi.
Darah seni Ismail mengalir dari ayahnya, Marzuki, yang saat itu seorang pegawai di perusahaan Ford Reparatieer TIO. Pak Marzuki dikenal gemar memainkan kecapi dan piawai melagukan syair-syair yang bernapaskan Islam. Jadi tidak aneh kalau kemudian Ismail sejak kecil sudah tertarik dengan lagu-lagu.
Di rumah keluarga Marzuki ada gramofon dan piringan hitam yang cukup banyak jumlahnya. Jenis lagunya sendiri sangat beragam, mulai dari keroncong, jali-jali, cokek, sampai gambus. Ismail pun tak segan mengeluarkan uang sakunya untuk membeli piringan hitam lagu Barat, khususnya Perancis dan Italia. Banyak nantinya karya yang diciptakan Ismail memiliki irama Latin, seperti rumba, tango dan beguine. Ismail memang sangat menyukai lagu-lagu berirama itu.
Setelah menyelesaikan pendidikan MULO atau setingkat SLTP, Ismail kemudian mengikuti panggilan hatinya untuk bekerja dalam musik. Setelah sempat bekerja di sebuah toko penjual piringan hitam, Ismail akhirnya masuk ke perkumpulan orkes Lief Java. Di sini ia menjadi pemain gitar, saksofon dan akordion.
Karirnya semakin bersinar setelah Belanda membentuk sebuah radio yang diberi nama Nederlands Indische Radio Omroep Maatshappij (NIROM). Orkes Lief Java, tempat Ismail bermain, diberi kesempatan untuk mengisi siaran musik. Bakat dan jiwa musik Ismail makin berkembang luas. Selain makin banyak menggubah lagu, Ismail pun juga banyak menyanyi, dan suaranya banyak didengar dan dikenal masyarakat melalui NIROM.
Namun, sang ayah, walau pun menyukai dunia musik, tidak begitu setuju dengan karir Ismail di jalur musik. Beliau kuatir dengan asumsi masyarakat pada saat itu yang masih memandang rendah profesi seniman. Sebaliknya, Ismail tidak terpengaruh dengan pencitraan yang dibuat oleh Belanda tersebut. Bahkan setiap naik kelas, ia selalu minta dibelikan berbagai macam alat musik, macam harmonika, mandolin dsb.
Ismail yang memiliki bakat dan fasilitas bermusik yang besar tidak menyia-nyiakan karunia yang ada. Ia pun mengembangkan kemampuan musiknya lebih jauh lagi dengan mencoba untuk menggubah lagu. Karya pertamanya yang berjudul O Sarinah pun lahir di tahun 1931, ketika usianya 17 tahun. Tembang ini bermakna lebih dari sekadar nama seorang wanita, tetapi juga perlambang bangsa yang tertindas penjajah.
Ismail memang memiliki semangat cinta dan penuh pujaan terhadap Tanah Air. Peran sang ayah sangat besar dalam membentuk kepribadian tersebut. Beliau terus mendorong agar Ismail tidak kehilangan kepekaan terhadap nasib bangsanya dan mampu berkembang tanpa dikotak-kotakkan oleh golongan kesukuan.
Proses penciptaan musik dalam karir Ismail Marzuki dibagi dalam dua periode besar, yakni pada periode Hindia-Belanda dan periode pendudukan Jepang serta revolusi kemerdekaan. Pada periode pertama, karya Ismail banyak dipengaruhi oleh irama musik yang terkenal saat itu, yakni jazz, hawaiia, seriosa/klasik ringan dan keroncong. Karyanya yang terkenal adalah Keroncong Serenata, Kasim Baba, Bandaneira dan Lenggang Bandung.
Periode kedua pada jaman penjajahan Jepang, Ismail aktif dalam orkes radionya Jepang. Tembang-tembang macam Rayuan Pulau Kelapa, Sampul Surat, dan Karangan Bunga dari Selatan lahir di jaman ini. Sementara lagu-lagu perjuangan yang paling masyhur muncul semasa Revolusi Perang Kemerdekaan 1945-1950, antara lain Sepasang Mata Bola (1946), Melati di Tapal Batas (1947), Bandung Selatan di Waktu Malam (1948), Selamat Datang Pahlawan Muda (1949).
Dengan proses kreatif yang produktif dalam rentang 27 tahun menjadi komponis, Ismail Marzuki telah menciptakan lebih dari 200 lagu. Banyak penghargaan seni yang diberikan kepada Ismail karena dedikasi pada musik, perjuangan dan kecintaannya pada Tanah Air. Salah satunya adalah Piagam Wijayakusuma yang diberikan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1961.
Karya Lagu :
1. Aryati
2. Gugur Bunga
3. Melati di Tapal Batas (1947)
4. Wanita
5. Rayuan Pulau Kelapa
6. Sepasang Mata Bola (1946)
7. Bandung Selatan di Waktu Malam (1948)
8. Sarinah (1931)
9. Keroncong Serenata
10. Kasim Baba
11. Bandaneira
12. Lenggang Bandung
13. Sampul Surat
14. Karangan Bunga dari Selatan
15. Selamat Datang Pahlawan Muda (1949)
Mengenang Ismail MarzukiTinggalkan Lagu Tak Berjudul dan Bersyair...
Tak banyak yang tahu bahwa Mei adalah bulan lahir dan meninggalnya komponis besar Indonesia, Ismail Marzuki. Putra Betawi asli ini lahir di Kwitang (Betawi) pada 11 Mei 1914 dan meninggal di Jakarta pada 25 Mei 1958. Pada zamannya, Ismail Marzuki dan pencipta-pencipta lagu seangkatannya telah banyak melahirkan lagu populer Indonesia. Karya-karya penting dari Ismail Marzuki sebagai pencipta lagu adalah lagu-lagu perjuangannya. Namun, bagaimana pernik-pernik kisah masa lalunya?
ORANGTUA Ismail Marzuki termasuk golongan masyarakat Betawa intelek yang berpikiran maju. Ismail Marzuki yang dipanggil dengan nama Ma'ing, sejak bocah sudah menunjukkan minat yang besar terhadap seni musik. Ayahnya berpenghasilan cukup sehingga sanggup membeli piringan hitam dan gramafon yang populer disebut "mesin ngomong" oleh masyarakat Betawi tempo dulu.
Ma'ing disekolahkan ayahnya ke sebuah sekolah Kristen HIS Idenburg, Menteng. Nama panggilannya di sekolah adalah Benyamin. Tapi kemudian ayahnya merasa khawatir kalau nantinya bersifat kebelanda-belandaan, Ma'ing lalu dipindahkan ke Madrasah Unwanul-Falah di Kwitang. Beranjak dewasa, dia dibelikan ayahnya alat musik sederhana. Bahkan tiap naik kelas Ma'ing diberi hadiah harmonika, mandolin, dan gitar. Setelah lulus, Ma'ing masuk sekolah MULO dan membentuk grup musik sendiri. Di situ dia memainkan alat musik banyo dan gemar memainkan lagu-lagu gaya Dixieland serta lagu-lagu Barat yang digandrungi pada masa itu.
Setelah tamat MULO, Ma'ing bekerja di Socony Service Station sebagai kasir dengan gaji 30 gulden sebulan, sehingga dia sanggup menabung untuk membeli biola. Namun, pekerjaan sebagai kasir dirasakan kurang cocok baginya, sehingga ia pindah pekerjaan dengan gaji tidak tetap sebagai verkoper (penjual) piringan hitam produksi Columbia dan Polydor yang berkantor di Jalan Noordwijk (sekarang Jalan Ir. H. Juanda) Jakarta. Penghasilannya tergantung pada jumlah piringan hitam yang dia jual. Rupanya, pekerjaan ini hanya sebagai batu loncatan ke jenjang karier berikutnya dalam bidang musik.
Selama bekerja sebagai penjual piringan hitam, Ma'ing banyak berkenalan dengan artis pentas, film, musik dan penyanyi, di antaranya Zahirdin, Yahya, Kartolo, dan Roekiah (orangtua Rachmat Kartolo). Pada 1936, Ma'ing memasuki perkumpulan orkes musik Lief Jawa sebagai pemain gitar, saksofon, dan harmonium pompa.
***
Tahun 1934, Belanda membentuk Nederlands Indische Radio Omroep Maatshappij (NIROM) dan orkes musik Lief Java mendapat kesempatan untuk mengisi acara siaran musik. Tapi Ma'ing mulai menjauhkan diri dari lagu-lagu Barat, kemudian menciptakan lagu-lagu sendiri antara lain "Ali Baba Rumba", "Ohle le di Kotaraja", dan "Ya Aini". Lagu ciptaannya kemudian direkam ke dalam piringan hitam di Singapura.
Orkes musiknya punya sebuah lagu pembukaan yang mereka namakan Sweet Jaya Islander. Lagu tersebut tanpa pemberitahuan maupun basa-basi dijadikan lagu pembukaan siaran radio NIROM, sehingga grup musik Ma'ing mengajukan protes, namun protes mereka tidak digubris oleh direktur NIROM.
Pada periode 1936-1937, Ma'ing mulai mempelajari berbagai jenis lagu tradisional dan lagu Barat. Ini terlibat pada beberapa ciptaannya dalam periode tersebut, "My Hula-hula Girl". Kemudian lagu ciptaannya "Bunga Mawar dari Mayangan" dan "Duduk Termenung" dijadikan tema lagu untuk film "Terang Bulan". Awal Perang Dunia II (1940) mulai mempengaruhi kehidupan di Hindia-Belanda (Indonesia). Radio NIROM mulai membatasi acara siaran musiknya, sehingga beberapa orang Indonesia di Betawi mulai membuat radio sendiri dengan nama Vereneging Oostersche Radio Omroep (VORO) berlokasi di Karamat Raya. Antene pemancar mereka buat sendiri dari batang bambu.
Tiap malam Minggu orkes Lief Java mengadakan siaran khusus dengan penyanyi antara lain Annie Landouw. Ma'ing malah jadi pemain musik sekaligus mengisi acara lawak dengan nama samaran "Paman Lengser" dibantu oleh "Botol Kosong" alias Memet. Karena Ma'ing sangat gemar memainkan berbagai jenis alat musik, suatu waktu dia diberi hadiah sebuah saksofon oleh kawannya yang ternyata menderita penyakit paru-paru. Setelah dokter menjelaskan pada Ma'ing, lalu alat tiup tersebut dimusnahkan. Tapi, mulai saat itu pula penyakit paru-paru mengganggu Ma'ing.
Ketika Ma'ing membentuk organisasi Perikatan Radio Ketimuran (PRK), pihak Belanda memintanya untuk memimpin orkes studio ketimuran yang berlokasi di Bandung (Tegal-Lega). Orkesnya membawakan lagu-lagu Barat. Pada periode ini dia banyak mempelajari bentuk-bentuk lagu Barat, yang digubahnya dan kemudian diterjemahkannya ke dalam nada-nada Indonesia. Sebuah lagu Rusia ciptaan R. Karsov diterjemahkan ke dalam bahasa Sunda menjadi "Panon Hideung". Sebuah lagu ciptaannya berbahasa Belanda tapi memiliki intonasi Timur yakni lagu "Als de orchideen bloeien". Lagu ini kemudian direkam oleh perusahaan piringan hitam His Master Voice (HMV). Kelak lagu ini diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Indonesia dengan judul "Bila Anggrek Mulai Berbunga".
Tahun 1940, Ma'ing menikah dengan penyanyi kroncong Bulis binti Empi. Pada Maret 1942, saat Jepang menduduki seluruh Indonesia, Radio NIROM dibubarkan diganti dengan nama Hoso Kanri Kyoku. PRK juga dibubarkan Jepang, dan orkes Lief Java berganti nama Kireina Jawa. Saat itu Ma'ing mulai memasuki periode menciptakan lagu-lagu perjuangan. Mula-mula syair lagunya masih berbentuk puitis yang lembut seperti "Kalau Melati Mekar Setangkai", "Kembang Rampai dari Bali" dan bentuk hiburan ringan, bahkan agak mengarah pada bentuk seriosa.
***
Pada periode 1943-1944, Ma'ing menciptakan lagu yang mulai mengarah pada lagu-lagu perjuangan, antara lain "Rayuan Pulau Kelapa", "Bisikan Tanah Air", "Gagah Perwira", dan "Indonesia Tanah Pusaka". Kepala bagian propaganda Jepang, Sumitsu, mencurigai lagu-lagu tersebut lalu melaporkannya ke pihak Kenpetai (Polisi Militer Jepang), sehingga Ma'ing sempat diancam oleh Kenpetai. Namun, putra Betawi ini tak gentar. Malah pada 1945 lahir lagu "Selamat Jalan Pahlawan Muda".
Setelah Perang Dunia II, ciptaan Ma'ing terus mengalir, antara lain "Jauh di Mata di Hati Jangan" (1947) dan "Halo-halo Bandung" (1948). Ketika itu Ma'ing dan istrinya pindah ke Bandung karena rumah meraka di Jakarta kena serempet peluru mortir. Ketika berada di Bandung selatan, ayah Ma'ing di Jakarta meninggal. Ma'ing terlambat menerima berita. Ketika dia tiba di Jakarta, ayahnya telah beberapa hari dimakamkan. Kembang-kembang yang menghiasi makam ayahnya dan telah layu, mengilhaminya untuk menciptakan lagu "Gugur Bunga".
Lagu-lagu ciptaan lainnya mengenai masa perjuangan yang bergaya romantis tanpa mengurangi nilai-nilai semangat perjuangan antara lain "Ke Medan Jaya", "Sepasang Mata Bola", "Selendang Sutra", "Melati di Tapal Batas Bekasi", "Saputangan dari Bandung Selatan", "Selamat Datang Pahlawan Muda". Lagu hiburan populer yang (kental) bernafaskan cinta pun sampai-sampai diberi suasana kisah perjuangan kemerdekaan. Misalnya syair lagu "Tinggi Gunung Seribu Janji", dan "Juwita Malam".
Lagu-lagu yang khusus mengisahkan kehidupan para pejuang kemerekaan, syairnya dibuat ringan dalam bentuk populer, tidak menggunakan bahasa Indonesia tinggi yang sulit dicerna. Simak saja syair "Oh Kopral Jono" dan "Sersan Mayorku". Lagu-lagu ciptaannya yang berbentuk romantis murni hiburan ringan, walaupun digarap secara populer tapi bentuk syairnya berbobot seriosa. Misalnya lagu "Aryati", "Oh Angin Sampaikan. Tahun 1950 dia masih mencipta lagu "Irian Samba" dan tahun 1957 lagu "Inikah Bahagia" -- suatu lagu yang banyak memancing tandatanya dari para pengamat musik.
Sampai pada lagu ciptaan yang ke 100-an, Ma'ing masih merasa belum puas dan belum bahagia. Malah, lagu ciptaannya yang ke-103 tidak sempat diberi judul dan syair, hingga Ma'ing alias Ismail Marzuki -- komponis besar Indonesia itu -- menutup mata selamanya pada 25 Mei 1058.
Langganan:
Postingan (Atom)