Welcome

Minggu, 28 Februari 2010

Penggagas Serangan Umum 1 Maret 1946 Bukan Soeharto

Sejarawan, Dr Anhar Gonggong berpendapat penggagas Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta untuk menyingkirkan pasukan Belanda, bukan mantan Presiden Soeharto (ketika itu berpangkat letkol). Melainkan komandan berpangkat yang lebih tinggi seperti Panglima Besar Jenderal Soedirman dan Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkuwono IX. Dalam diskusi “Serangan Umum 1 Maret 1949″ di Jakarta, Selasa, sejarawan dari Fakultas Sastra UI itu mengatakan berdasarkan hierarki komando di militer, inisiatif penyerangan bukan berasal dari seorang komandan brigade seperti Letkol Soeharto yang menjabat Komandan Brigade III, tetapi seharusnya berasal dari pejabat lebih tinggi.

Pejabat militer lebih tinggi itu, katanya, seperti Panglima Besar Jenderal Soedirman, Menhan Sri Sultan Hamengkubwono IX, Panglima Divisi III Kol Bambang Sugeng, Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kol TB Simatupang, dan Kepala Staf Angkatan Perang Kol Abdul Haris Nasution.

Selain itu, tulisan TB Simatupang (Waktu itu sebagai Kepala Staf Angkatan Perang RI–red) dalam bukunya Laporan dan Banaran (1960), memuat salinan Instruksi Rahasia Panglima Divisi III/GM III Kol Bambang Sugeng yang memerintahkan kepada seluruh kesatuan tentara untuk mengadakan serangan besar-besaran di Yogyakarta mulai 25 Februari hingga 1 Maret 1949.

Menurut Anhar, untuk memastikan tentang siapa para pelaku inisiatif Serangan Umum 1 Maret 1949 selain Kol Bambang Sugeng, juga memerlukan penelitian lebih lanjut. Sedangkan berdasarkan sejumlah dokumen dan sistem hierarki militer bahwa inisiatif serangan bukan dari Letkol Soeharto.

Karena itu, menurut Anhar, perlu ada pelurusan sejarah tentang inisiatif Serangan Umum 1 Maret 1949 yang dalam buku-buku sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah berasal dari Letkol Soeharto.

Ketika ditanya tentang keengganan Jenderal AH Nasution dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengungkapkan tentang inisiatif Serangan Umum 1 Maret 1949 bukan berasal dari Pak Harto, Anhar mengatakan, budaya “sungkan” membuat kedua tokoh takut mengungkap hal tersebut serta kedudukan Pak Harto sebagai Presiden RI juga menjadi faktor yang menjadikan orang lain malu megungkapkan kebenaran sejarah.

Kendati demikian, Anhar mengakui, Letkol Soeharto tetap sebagai pelaksana Serangan Umum 1 Maret 1949 sehingga Indonesia memenangkan diplomasi di PBB bahwa eksistensi negara Indonesia masih ada yang ditandai TNI berhasil mengusir pendudukan tentara Belanda dari ibu kota RI, Yogyakarta, pada saat itu.

Sementara itu, pengamat sejarah Batara Hutagalung yang juga anak pahlawan nasional Letkol Dr W Hatagalung mengatakan berdasarkan dokumen yang ditulis Letkol Dr W Hutagalung yang pada 1949 menjabat perwira teritorial di Yogyakarta dan sejumlah dokumen lain, Serangan Umum 1 Maret 1949 melibatkan banyak pihak,seperti Angkatan Darat, Angkatan Udara, dan Kementerian Pertahanan.

Selaian itu, Serangan 1 Maret 1949 yang dilaksanakan Divisi III Militer di Yogyakarta berdasarkan perintah dari Panglima Besar Jenderal Soedirman untuk membuktikan dunia internasional bahwa TNI masih ada dan cukup kuat sehingga dapat membuktikan eksistensi RI, kata Batara yang juga Ketua Aliansi Reformasi Indonesia (ARI) itu.

Sedangkan pengamat politik dari Universitas Andalas (Unand) Padang, Prof Dr Muchlis Muchtar MS berpendapat bahwa Serangan Umum 1 Maret 1949 telah menjadi salah satu tonggak penting bagi kelangsungan negara persatuan dan kesatuan Indonesia.

“Tetapi, apakah mantan Presiden Soeharto sebagai penggagas serangan itu, kini mulai banyak dipertanyakan. Maka tugas para sejarawanlah untuk mengadakan penelitian lebih lanjut masalah itu,” ujar Muchlis di Padang kemarin.

Sumber : Media Indonesia – Politik dan Keamanan (3/1/00)

Rabu, 17 Februari 2010

Cikal Bakal Kota Cilacap

1. Zaman Kerajaan Jawa

Penelusuran sejarah zaman kerajaan Jawa diawali sejak zaman Kerajaan Mataram Hindu sampai dengan Kerajaan Surakarta. Pada akhir zaman Kerajaan Majapahit (1294-1478) daerah cikal-bakal Kabupaten Cilacap terbagi dalam wilayah-wilayah Kerajaan Majapahit, Adipati Pasir Luhur dan Kerajaan Pakuan Pajajaran, yang wilayahnya membentang dari timur ke arah barat :

- Wilayah Ki Gede Ayah dan wilayah Ki Ageng Donan dibawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.

- Wilayah Kerajaan Nusakambangan dan wilayah Adipati Pasir Luhur

- Wilayah Kerajaan Pakuan Pajajaran.

Menurut Husein Djayadiningrat, Kerajaan Hindu Pakuan Pajajaran setelah diserang oleh kerjaan Islam banten dan Cirebon jatuh pada tahun 1579, sehingga bagian timur Kerajaan Pakuan Pajajaran diserahkan kepada Kerajaan Cirebon. Oleh karena itu seluruh wilayah cikal-bakal Kabupaten Cilacap disebelah timur dibawah kekuasaan Kerajaan Islam Pajang dan sebelah barat diserahkan kepada Kerajaan Cirebon.

Kerajaan Pajang diganti dengan Kerajaan Mataram Islam yang didirikan oleh Panembahan Senopatipada tahun 1587-1755, maka daerah cikal bakal Kabupaten Cilacap yang semula di bawah kekuasaan Kerajaan Islam Pajang diserahkan kepada Kerajaan Mataram .

Pada tahun 1595 Kerajaan Mataram mengadakan ekspansi ke Kabupaten Galuh yang berada di wilayah Kerajaan Cirebon.

Menurut catatan harian Kompeni Belanda di Benteng Batavia, tanggal 21 Pebruari 1682 diterima surat yang berisi terjemahan perjalanan darat dari Citarum, sebelah utara Karawang ke Bagelen. Nama-nama yang dilalui dalam daerah cikal-bakal Kabupaten Cilacap adalah Dayeuhluhur dan Limbangan.

2. Zaman Penjajahan Belanda

Pembentukan Onder Afdeling Cilacap (dua bulan setelah Residen Launy bertugas) dengan besluit Gubernur Jenderal D.De Erens tanggal 17 Juli 1839 Nomor 1, memutuskan :

"Demi kepentingan pelaksanaan pemerintahan daerah yang lebih rapi di kawasan selatan Banyumas dan peningkatan pembangunan pe,abuhan Cilacap, maka sambil menunggu usul organisasi distrik-distrik bagian selatan yang akan menjadi bagiannya, satu dari tiga Asisten Resident di Karesidenan ini akan berkedudukan di Cilacap".

Karena daerah Banyumas Selatan dianggap terlalu luas untuk dipertahankan oleh Bupati Purwokerto dan Bupati Banyumas maka dengan Besluit tanggal 27 Juni 1841 Nomor 10 ditetapkan :"Patenschap" Dayeuhluhur dipisahkan dari Kabupaten Banyumas dan dijadikan satu afdeling tersendiri yaitu : afdeling Cilacap dengan ibu kota Cilacap, yang menjadi tempat kedudukan kepala Bestuur Eropa Asisten Residen dan Kepala Bestuur Pribumi Rangga atau Onder Regent. Dengan demikian Pemerintah Pribumi dinamakan Onder Regentschap setaraf dengan Patih Kepala Daerah Dayeuhluhur.

Bagaimanapun pembentukan afdeling memenuhi keinginan Bupati Purwokerto dan Banyumas yang sudah lama ingin mengurangi daerah kekuasaan masing-masing dengan Patenschap Dayeuhluhur dan Distrik Adiraja.

Adapun batas Distrik Adiraja yang bersama pattenschap Dayeuhluhur membentuk Onder Regentschap Cilacap menurut rencana Residen Banyumas De Sturier tertanggal 31 Maret 1831 adalah sebagai berikut :

Dari muara Sungai Serayu ke hulu menuju titik tengah ketinggian Gunung Prenteng. Dari sana menuju puncak, turun ke arah tenggara pegunungan Kendeng, menuju puncak Gunung Gumelem (Igir Melayat). dari sana ke arah selatan mengikuti batas wilayah Karesidenan Banyumas menuju ke laut. Dari sana kearah barat sepanjang pantai menuju muara Sungai Serayu. dari batas-batas Distrik Adiraja dapat diketahui bahwa Distrik Adiraja sebagai cikal-bakal eks Kawedanan Kroya lebih besar dari pada eks. Kawedanan Kroya , karena waktu itu belum terdapat Distrik Kalireja, yang dibentuk dari sub bagian Distrik Adiraja dan sebagai Distrik Banyumas. Sehingga luas kawasan Onder Regentschap Cilacap masih lebih besar dari luas Kabupaten Cilacap sekarang.

Pada masa residen Banyumas ke-9 Van de Moore mengajukan usul Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 3 Oktober 1855 yang ditandatangani Gubernur Jenderal Duijmaer Van Tuist, kepada Menteri Kolonial Kerajaan Belanda dalam Kabinet Sreserpt pada tanggal 29 Desember 1855 Nomor 86, dan surat rahasia Menteri Kolonial tanggal 5 Januari 1856 Nomor 7/A disampaikan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Usul pembentukan Kabupaten Cilacap menurut Menteri Kolonial bermakna dua yaitu permohonan persetujuan pembentukan Kabupaten Cilacap dan organisasi bestir pribumi dan pengeluaran anggaran lebih dari F.5.220 per tahun yang keduanya memerlukan persetujuan Raja Belanda,setelah menerima surat rahasia Menteri Kolonial Pemerintah Hindia Belanda dengan besluit Gubernur Jenderal tanggal 21 Maret 1856 Nomor 21 antara lain menetapkan Onder Regentschap Cilacap ditingkatkan menjadi Regentschap (Kabupaten Cilacap).*

Daftar Nama Bupati Cilacap s/d Tahun 2006 :

1. Bupati I R. Tumenggung Tjakra werdana II (1858-1873)

2. Bupati II R. Tumenggung Tjakra Werdana III (1873-1875)

3. Bupati III R. Tumenggung Tjakra Werdana IV (1875-1881)

4. Bupati IV R.M Adipati Tjakrawerdaya (1882-1927)

5. Bupati V R.M Adipati Arya Tjakra Sewaya (1927-1950)

6. Bupati VI Raden Mas Soetedjo (1950-1952)

7. Bupati VII R. Witono (1952-1954)

8. Bupati VIII Raden Mas Kodri (1954-1958)

9. Bupati IX D.A Santoso (1958-1965)

10. Bupati X Hadi Soetomo (1965-1968)

11. Bupati XI HS. Kartabrata (1968-1974)

12. Bupati XII H. RYK. Moekmin (1974-1979)

13. Bupati XIII Poedjono Pranyoto (1979-1987)

14. Bupati XIV H. Mohamad Supardi (1987-1997)

15. Bupati XV H. Herry Tabri Karta, SH (1997-2002)

16. Bupati XVI H. Probo Yulastoro, S.Sos, MM, M.Si (2002- sekarang)

(sumber : Leaflet Sejarah Kabupaten Cilacap dalam rangka Hari Jadi Kabupaten Cilacap ke-150, 21 Maret 2006)

Selasa, 16 Februari 2010

Sejarah Pemindahan kota Bandung

seperti yang telah disinggung pada posting sejarah Bandung, ternyata Kota Bandung tidak berdiri bersamaan dengan pembentukan Kabupaten Bandung. Kota itu dibangun dengan tenggang waktu sangat jauh setelah Kabupaten Bandung berdiri. Kabupaten Bandung dibentuk pada sekitar pertengahan abad ke-17 Masehi, dengan Bupati pertama tumenggung Wiraangunangun. Beliau memerintah Kabupaten bandung hingga tahun 1681.

Semula Kabupaten Bandung beribukota di Krapyak (sekarang Dayeuhkolot) kira-kira 11 kilometer ke arah Selatan dari pusat kota Bandung sekarang. Ketika kabupaten Bandung dipimpin oleh bupati ke-6, yakni R.A Wiranatakusumah II (1794-1829) yang dijuluki "Dalem Kaum I", kekuasaan di Nusantara beralih dari Kompeni ke Pemerintahan hindia Belanda, dengan gubernur jenderal pertama Herman Willem Daendels (1808-1811). Untuk kelancaran menjalankan tugasnya di Pulau Jawa, Daendels membangun Jalan Raya Pos (Groote Postweg) dari Anyer di ujung barat Jawa Barat ke Panarukan di ujung timur Jawa timur (kira-kira 1000 km). Pembangunan jalan raya itu dilakukan oleh rakyat pribumi di bawah pimpinan bupati daerah masing-masing.

Mengapa Daendels begitu ngotot untuk memindahkan ibu kota tersebut? Karena Daendels menginginkan agar rentang kendali terhadap Kabupaten Bandung lebih mudah, terutama setelah selesainya Jalan Raya Pos.

Jadi, pemindahan ibu kota Kabupaten Bandung ke tempat sekitar Alun-alun Kota Bandung sekarang, bukanlah karena alasan saat itu Karapyak sering kebanjiran seperti dikemukakan Dede Mariana, LPPM Unpad (Teropong, "PR", 15 Desember 2008).

Sementara itu, ibu kota Parakanmuncang yang posisinya sudah berdekatan dengan jalan raya pos, namun terlalu dekat dengan ibu kota Kabupaten Bandung yang baru, letaknya harus digeser ke arah timur laut dari posisi semula yaitu ke Anawadak, Tanjungsari sekarang.

Dengan kondisi saat itu, Karapyak dianggap terlalu jauh dari rentang kendali karena jauh di selatan dari jalan raya pos. Jalan itu semula berupa jalan sebahu yang sudah lama ada, yang menjadi jalan penghubung antara pusat-pusat kerajaan sebelumnya. Pada 1809, Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels mulai memperlebar dan mengeraskan jalan sebahu itu menjadi jalan yang bisa dilalui kereta pos yang menghubungkan kota-kota di Pulau Jawa dari Anyer hingga Panarukan sebagai upaya untuk pengamanan Pulau Jawa dari serangan Inggris.

Sekitar akhir tahun 1808/awal tahun 1809, bupati beserta sejumlah rakyatnya pindah dari Krapyak mendekali lahan bakal ibukota baru. Mula-mula bupati tinggal di Cikalintu (daerah Cipaganti), kemudian pindah ke Balubur Hilir, selanjutnya pindah lagi ke Kampur Bogor (Kebon Kawung, pada lahan Gedung Pakuan sekarang).

Tidak diketahui secara pasti, berapa lama Kota Bandung dibangun. Akan tetapi, kota itu dibangun bukan atas prakarsa Daendels, melainkan atas prakarsa Bupati Bandung, bahkan pembangunan kota itu langsung dipimpin oleh bupati. Dengan kata lain, Bupati R. A. Wiranatakusumah II adalah pendiri (the founding father) kota Bandung. Kota Bandung diresmikan sebagai ibukota baru Kabupaten Bandung dengan surat keputusan tanggal 25 September 1810.

Daendels sudah ingin segera memindahkan ibu kota Kabupaten Bandung sehingga ketika meresmikan Jembatan Cikapundung di dekat gedung PLN sekarang, dengan sombong Daendels menancapkan tongkat dan setengah mengancam Bupati Kabupaten Bandung, "Coba usahakan, bila aku datang kembali, di tempat ini telah dibangun sebuah kota."

Tidak cukup dengan paksaan itu, untuk menguatkan keinginannya, Herman Willem Daendels pun menulis surat pada 25 Mei 1810, yang bunyinya setelah diterjemahkan oleh Dr. A. Sobana Hardjasaputra adalah sebagai berikut:

"Setelah memberitahukan dengan surat kepada penguasa Jakarta dan daerah pedalaman Priangan bahwa ia telah mendengar ketika mengadakan inspeksi yang terakhir bahwa ibu kota Bandung dan Parakanmuncang terletak jauh dari jalan yang baru sehingga pekerjaan pembuatan jalan itu terlambat. Oleh karena itu, diusulkan untuk memindahkan ibu kota tersebut, yaitu (ibu kota) Bandung ke Cikapundung dan (ibu kota) Parakanmuncang ke Anawadak, kedua tempat itu terletak di jalan besar dan selain itu sangat cocok, serta di samping pemindahan yang telah disebutkan juga mengenai beberapa tanam-tanaman akan dapat ditingkatkan karena lahan yang diusulkan menjadi ibu kota dan sekitarnya sangat subur, bilamana keputusan usul mengenai pemindahan ibu kota Bandung ke Cikapundung, dan Parakanmuncang ke Anawadak tersebut diterima, mohon Paduka memberikan otoritas dan perintah yang harus dilaksanakan."

Dalam surat itu disebutkan juga tentang keinginan Daendels untuk memindahkan ibu kota Parakanmuncang ke Anawadak karena Parakanmuncang letaknya terlalu berdekatan dengan ibu kota Kabupaten Bandung yang baru.

Di mana tempat yang bernama Anawadak itu? Menurut Dr. A. Sobana Hardjasaputra, Anawadak adalah Tanjungsari sekarang, dan perubahan nama dari Anawadak menjadi Tanjungsari, menurutnya terjadi pada dekade ke-2 abad ke-19, atau pada tahun 1820-an.

Itik gunung

Dalam Kamus Basa Sunda susunan R. Satjadibrata (2005), anawadak ialah hahayaman, ngaran manuk ranca, leuwih leutik batan kuntul. (Anawadak=ayam-ayaman, nama burung rawa, lebih kecil dari kuntul).

Menurut Prof. Johan Iskandar, anawadak tidak sama dengan hahayaman (Gallicrex cinerea). Anawadak (Anas superciliosa) biasa disebut juga itik gunung. Dalam survei tahun 1980-an, Johan Iskandar pernah menemukannya di Danau Pangkalan-Kamojang, Kabupaten Bandung.

John MacKinnon (1993) mendeskripsikannya sebagai itik berukuran besar (55 cm), berwarna cokelat gelap dan mencari makan di permukaan air. Burung ini mudah dikenali dari kepalanya yang bergaris hitam. Terdapat spekulum (bulu sekunder di sayap yang memiliki warna mencolok) yang berkilat hijau gelap sampai ungu. Bagian bawah sayap berwarna putih yang sangat kontras dengan warna bulunya yang hitam.

Irisnya coklat, paruhnya abu-abu gelap, kakinya berwarna kuning suram atau coklat, dengan suaranya yang mirip itik jinak. Di Jawa Barat, itik gunung banyak terdapat di danau-danau pegunungan. Banyak dijumpai di danau atau rawa-rawa yang ditumbuhi buluh, umumnya di pegunungan yang tingginya sampai 3.000 meter dpl.

Di tepian danau yang dangkal, anawadak mencari makan berupa sayur-sayuran, biji-bijian (termasuk padi), dan invertebrata. Bertelur pada awal tahun sekitar Februari. Jumlah telurnya antara 8-13 butir, berwarna putih yang kemudian diletakkan pada sarang bersusun dari bulu lembut dan halus. Sarang penyimpanan telur berada di atas permukaan tanah atau di lubang pada pohon.

Di kawasan Anawadak atau Tajungsari tempo dulu, masih banyak situ atau lahan basah alami lainnya yang menjadi habitat itik gunung. Menurut Dadan Sutisna, seorang cerpenis, di sekitar Tanjungsari ada nama-nama tempat yang berciri air seperti Cisitu.

Menurut kisah para orang tua di sana, memang kawasan Cisitu dulunya adalah berupa danau alami. Di situ, gunung, dan lahan basah alami inilah anawadak hidup dengan merdeka. Namun sayang, seiring dengan menghilangnya situ dan lahan basah alami di kawasan tersebut, itik gunung pun menghilang. Tak ada lagi anawadak di sana. Anawadak sebagai nama ibu kota Parakanmuncang pun berganti menjadi Tanjungsari! (T. Bachtiar, anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung)

sumber : www.pikiran-rakyat.com

Senin, 15 Februari 2010

Sejarah ORI Yogyakarta

Banyak orang lupa, bahwa Yogyakarta selama empat tahun pernah menjadi ibukota Republik Indonesia. Tepatnya pada 4 Januari 1946 sampai 27 Desember 1949 ibukota Republik Indonesia ada di Yogyakarta.

Berpindahnya ibukota RI saat itu bukan tanpa alasan, situasi Jakarta kala itu dalam kondisi tidak aman dan roda pemerintahan RI macet total akibat adanya unsur-unsur yang saling berlawanan. Di satu pihak masih adanya pasukan Jepang yang memegang satus quo, di pihak lain adanya sekutu yang diboncengi NICA. Singkatnya, situasi Jakarta makin genting dan keselamatan para pemimpin bangsa pun terancam. Atas inisiatif HB IX, ibukota RI berpindah ke Yogyakarta. Hijrah ibukota RI itu merupakan atas nasehat dan prakarsa Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan dari Yogyalah persoalan politik bangsa dikoordinasikan. Semua itu bisa berhasil dengan baik berkat kepemimpinan HB IX.

Dipilihnya Yogya sebagai ibukota RI karena pandangan politik ke depan dan keberanian Sultan HB IX mengambil resiko. Sehingga dapat dikatakan HB IX dan masyarakatnya merupakan penyambung kelangsungn RI dalam menghadapi agresi militer Belanda. Sri Sultan Hamengkubuwono IX merupakan aktor intelektualis yang memiliki multi status. Selain sebagai Raja, kepala derah, menteri pertahanan, Sultan adalah key person dan juru runding dengan Belanda, juga sebagai figur kunci birokrasi sipil di Indonesia. Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang aslinya bernama G.R.M Dorojatun, sejak diangkat menjadi Sultan 18 Maret 1940, menggantikan ayahnya Sri Sultan HB VIII sudah dekat dengan kalangan rakyat dan tentu saja beliau memahami aspirasi rakyat, termasuk penderitaan dan harapannya semasa penjajahan Belanda dan Jepang.

Karena perpindahan ibukota inilah maka semua uang ORI yang diterbitkan pada tahun 1946 s/d 1949 yaitu seri ORI II, III, IV dan ORI Baru tercantum kata2 Djokjakarta. Bukan lagi Djakarta seperti pada seri ORI I.


Seri ORI Baru (Djogjakarta, 17 Agustus 1949)


Seri ORI IV (Jogjakarta, 23 Agustus 1948)


Seri ORI III (Djogjakarta, 26 Djuli 1947)

Sejarah uang Indonesia sebelum ada Bank Indonesia

Masa Awal Kemerdekaan

Keadaan ekonomi di Indonesia pada awal kemerdekaan ditandai dengan hiperinflasi akibat peredaran beberapa mata uang yang tidak terkendali, sementara Pemerintah RI belum memiliki mata uang. Ada tiga mata uang yang dinyatakan berlaku oleh pemerintah RI pada tanggal 1 Oktober 1945, yaitu mata uang Jepang, mata uang Hindia Belanda, dan mata uang De Javasche Bank.

Diantara ketiga mata uang tersebut yang nilai tukarnya mengalami penurunan tajam adalah mata uang Jepang. Peredarannya mencapai empat milyar sehingga mata uang Jepang tersebut menjadi sumber hiperinflasi. Lapisan masyarakat yang paling menderita adalah petani, karena merekalah yang paling banyak menyimpan mata uang Jepang.

Kekacauan ekonomi akibat hiperinflasi diperparah oleh kebijakan Panglima AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) Letjen Sir Montagu Stopford yang pada 6 Maret 1946 mengumumkan pemberlakuan mata uang NICA di seluruh wilayah Indonesia yang telah diduduki oleh pasukan AFNEI. Kebijakan ini diprotes keras oleh pemerintah RI, karena melanggar persetujuan bahwa masing-masing pihak tidak boleh mengeluarkan mata uang baru selama belum adanya penyelesaian politik. Namun protes keras ini diabaikan oleh AFNEI. Mata uang NICA digunakan AFNEI untuk membiayai operasi-operasi militernya di Indonesia dan sekaligus mengacaukan perekonomian nasional, sehingga akan muncul krisis kepercayaan rakyat terhadap kemampuan pemerintah RI dalam mengatasi persoalan ekonomi nasional.

Karena protesnya tidak ditanggapi, maka pemerintah RI mengeluarkan kebijakan yang melarang seluruh rakyat Indonesia menggunakan mata uang NICA sebagai alat tukar. Langkah ini sangat penting karena peredaran mata uang NICA berada di luar kendali pemerintah RI, sehingga menyulitkan perbaikan ekonomi nasional.

Oleh karena AFNEI tidak mencabut pemberlakuan mata uang NICA, maka pada tanggal 26 Oktober 1946 pemerintah RI memberlakukan mata uang baru ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai alat tukar yang sah di seluruh wilayah RI. Sejak saat itu mata uang Jepang, mata uang Hindia Belanda dan mata uang De Javasche Bank dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian hanya ada dua mata uang yang berlaku yaitu ORI dan NICA. Masing-masing mata uang hanya diakui oleh yang mengeluarkannya. Jadi ORI hanya diakui oleh pemerintah RI dan mata uang NICA hanya diakui oleh AFNEI. Rakyat ternyata lebih banyak memberikan dukungan kepada ORI. Hal ini mempunyai dampak politik bahwa rakyat lebih berpihak kepada pemerintah RI dari pada pemerintah sementara NICA yang hanya didukung AFNEI.

Untuk mengatur nilai tukar ORI dengan valuta asing yang ada di Indonesia, pemerintah RI pada tanggal 1 November 1946 mengubah Yayasan Pusat Bank pimpinan Margono Djojohadikusumo menjadi Bank Negara Indonesia (BNI). Beberapa bulan sebelumnya pemerintah juga telah mengubah bank pemerintah pendudukan Jepang Shomin Ginko menjadi Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Tyokin Kyoku menjadi Kantor Tabungan Pos (KTP) yang berubah nama pada Juni 1949 menjadi Bank tabungan Pos dan akhirnya di tahun 1950 menjadi Bank Tabungan Negara (BTN). Semua bank ini berfungsi sebagai bank umum yang dijalankan oleh pemerintah RI. Fungsi utamanya adalah menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat serta pemberi jasa di dalam lalu lintas pembayaran.

Rabu, 10 Februari 2010

Sejarah Pancasila

Ideologi dan dasar negara kita adalah Pancasila. Pancasila terdiri dari lima sila. Kelima sila itu adalah: Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusayawaratan perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk mengetahui latar belakang atau sejarah Pancasila dijadikan ideologi atau dasar negara coba baca teks Proklamasi berikut ini.

Sebelum tanggal 17 Agustus bangsa Indonesia belum merdeka. Bangsa Indonesia dijajah oleh bangsa lain. Banyak bangsa-bangsa lain yang menjajah atau berkuasa di Indonesia, misalnya bangsa Belanda, Portugis, Inggris, dan Jepang. Paling lama menjajah adalah bangsa Belanda. Padahal sebelum kedatangan penjajah bangsa asing tersebut, di wilayah negara RI terdapat kerajaan-kerajaan besar yang merdeka, misalnya Sriwijaya, Majapahit, Demak, Mataram, Ternate, dan Tidore. Terhadap penjajahan tersebut, bangsa Indonesia selalu melakukan perlawanan dalam bentuk perjuangan bersenjata maupun politik.

Perjuangan bersenjata bangsa Indonesia dalam mengusir penjajah, dalam hal ini Belanda, sampai dengan tahun 1908 boleh dikatakan selalu mengalami kegagalan.

Penjajahan Belanda berakhir pada tahun 1942, tepatnya tanggal 8 Maret. Sejak saat itu Indonesia diduduki oleh bala tentara Jepang. Namun Jepang tidak terlalu lama menduduki Indonesia. Mulai tahun 1944, tentara Jepang mulai kalah dalam melawan tentara Sekutu. Untuk menarik simpati bangsa Indonesia agar bersedia membantu Jepang dalam melawan tentara Sekutu, Jepang memberikan janji kemerdekaan di kelak kemudian hari. Janji ini diucapkan oleh Perdana Menteri Kaiso pada tanggal 7 September 1944. Oleh karena terus menerus terdesak, maka pada tanggal 29 April 1945 Jepang memberikan janji kemerdekaan yang kedua kepada bangsa Indonesia, yaitu janji kemerdekaan tanpa syarat yang dituangkan dalam Maklumat Gunseikan (Pembesar Tertinggi Sipil dari Pemerintah Militer Jepang di Jawa dan Madura)

Dalam maklumat itu sekaligus dimuat dasar pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Tugas badan ini adalah menyelidiki dan mengumpulkan usul-usul untuk selanjutnya dikemukakan kepada pemerintah Jepang untuk dapat dipertimbangkan bagi kemerdekaan Indonesia.

Keanggotaan badan ini dilantik pada tanggal 28 Mei 1945, dan mengadakan sidang pertama pada tanggal 29 Mei 1945 – 1 Juni 1945. Dalam sidang pertama ini yang dibicarakan khusus mengenai calon dasar negara untuk Indonesia merdeka nanti. Pada sidang pertama itu, banyak anggota yang berbicara, dua di antaranya adalah Muhammad Yamin dan Bung Karno, yang masing-masing mengusulkan calon dasar negara untuk Indonesia merdeka. Muhammad Yamin mengajukan usul mengenai dasar negara secara lisan yang terdiri atas lima hal, yaitu:
1. Peri Kebangsaan
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri Ketuhanan
4. Peri Kerakyatan
5. Kesejahteraan Rakyat

Selain itu Muhammad Yamin juga mengajukan usul secara tertulis yang juga terdiri atas lima hal, yaitu:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Persatuan Indonesia
3. Rasa Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Usulan ini diajukan pada tanggal 29 Mei 1945, kemudian pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno mengajukan usul mengenai calon dasar negara yang terdiri atas lima hal, yaitu:
1. Nasionalisme (Kebangsaan Indonesia)
2. Internasionalisme (Perikemanusiaan)
3. Mufakat atau Demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan yang Berkebudayaan

Kelima hal ini oleh Bung Karno diberi nama Pancasila. Lebih lanjut Bung Karno mengemukakan bahwa kelima sila tersebut dapat diperas menjadi Trisila, yaitu:
1. Sosio nasionalisme
2. Sosio demokrasi
3. Ketuhanan

Berikutnya tiga hal ini menurutnya juga dapat diperas menjadi Ekasila yaitu Gotong Royong.

Selesai sidang pertama, pada tanggal 1 Juni 1945 para anggota BPUPKI sepakat untuk membentuk sebuah panitia kecil yang tugasnya adalah menampung usul-usul yang masuk dan memeriksanya serta melaporkan kepada sidang pleno BPUPKI. Tiap-tiap anggota diberi kesempatan mengajukan usul secara tertulis paling lambat sampai dengan tanggal 20 Juni 1945. Adapun anggota panitia kecil ini terdiri atas delapan orang, yaitu:
1. Ir. Soekarno
2. Ki Bagus Hadikusumo
3. K.H. Wachid Hasjim
4. Mr. Muh. Yamin
5. M. Sutardjo Kartohadikusumo
6. Mr. A.A. Maramis
7. R. Otto Iskandar Dinata
8. Drs. Muh. Hatta

Pada tanggal 22 Juni 1945 diadakan rapat gabungan antara Panitia Kecil, dengan para anggota BPUPKI yang berdomisili di Jakarta. Hasil yang dicapai antara lain disetujuinya dibentuknya sebuah Panitia Kecil Penyelidik Usul-Usul/Perumus Dasar Negara, yang terdiri atas sembilan orang, yaitu:
1. Ir. Soekarno
2. Drs. Muh. Hatta
3. Mr. A.A. Maramis
4. K.H. Wachid Hasyim
5. Abdul Kahar Muzakkir
6. Abikusno Tjokrosujoso
7. H. Agus Salim
8. Mr. Ahmad Subardjo
9. Mr. Muh. Yamin

Panitia Kecil yang beranggotakan sembilan orang ini pada tanggal itu juga melanjutkan sidang dan berhasil merumuskan calon Mukadimah Hukum Dasar, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan “Piagam Jakarta”.

Dalam sidang BPUPKI kedua, tanggal 10-16 juli 1945, hasil yang dicapai adalah merumuskan rancangan Hukum Dasar. Sejarah berjalan terus. Pada tanggal 9 Agustus dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, dan sejak saat itu Indonesia kosong dari kekuasaan. Keadaan tersebut dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh para pemimpin bangsa Indonesia, yaitu dengan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945. Sehari setelah proklamasi kemerdekaan PPKI mengadakan sidang, dengan acara utama (1) mengesahkan rancangan Hukum Dasar dengan preambulnya (Pembukaannya) dan (2) memilih Presiden dan Wakil Presiden.

Untuk pengesahan Preambul, terjadi proses yang cukup panjang. Sebelum mengesahkan Preambul, Bung Hatta terlebih dahulu mengemukakan bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945 sore hari, sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan, ada utusan dari Indonesia bagian Timur yang menemuinya.

Intinya, rakyat Indonesia bagian Timur mengusulkan agar pada alinea keempat preambul, di belakang kata “ketuhanan” yang berbunyi “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihapus. Jika tidak maka rakyat Indonesia bagian Timur lebih baik memisahkan diri dari negara RI yang baru saja diproklamasikan. Usul ini oleh Muh. Hatta disampaikan kepada sidang pleno PPKI, khususnya kepada para anggota tokoh-tokoh Islam, antara lain kepada Ki Bagus Hadikusumo, KH. Wakhid Hasyim dan Teuku Muh. Hasan. Muh. Hatta berusaha meyakinkan tokoh-tokoh Islam, demi persatuan dan kesatuan bangsa.

Oleh karena pendekatan yang terus-menerus dan demi persatuan dan kesatuan, mengingat Indonesia baru saja merdeka, akhirnya tokoh-tokoh Islam itu merelakan dicoretnya “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” di belakang kata Ketuhanan dan diganti dengan “Yang Maha Esa”.

Selasa, 09 Februari 2010

Kontroversi pencipta lagu Halo, Halo Bandung

Latar Belakang
Halo, Halo Bandung adalah salah satu lagu perjuangan Indonesia yang menggambarkan semangat perjuangan rakyat kota Bandung dalam masa pasca-kemerdekaan pada tahun 1946. Peristiwa tersebut direkam oleh sejarah dan disebut sebagai peristiwa Bandung Lautan Api yang terjadi pada tanggal 29 Maret 1946, dimana rakyat Bandung membakar kota Bandung untuk mencegah kota tersebut dikuasai oleh tentara sekutu dan tentara NICA Belanda yang hendak merebut Indonesia kembali setelah pasukan Jepang menyerah tanpa syarat kepada pasukan Sekutu dalam Perang Dunia II dan menarik pasukannya dari Indonesia. Lagu tersebut menjadi sangat terkenal dan menjadi simbol perjuangan bangsa Indonesia dalam perebutan kemerdekaan mereka dari jajahan bangsa asing. Sampai hari ini sebagian masyarakat Indonesia meyakini bahwa lagu tersebut diciptakan oleh salah satu maestro musik Indonesia, Ismail Marzuki, namun sebagian kalangan juga masih meragukan hal tersebut, karena sumber informasi yang tak jelas mengenai lagu tersebut, ditambah dengan kondisi industri musik Indonesia yang kurang memprioritaskan perlindungan hak cipta.

Perdebatang tentang siapa pencipta lagu Halo, Halo Bandung sebenarnya sudah lama terjadi. Di dalam buku Saya Pilih Mengungsi: Pengorbanan Rakyat Bandung untuk Kedaulatan yang ditulis Ratnayu Sitaresmi, Pestaraja HS Marpaung menyebutkan bahwa polemik itu mulai terjadi pada 1995. Pestaraja Marpaung adalah salah seorang pejuang yang sempat bergabung ke dalam Pasukan Istimewa (PI) Indonesia dan turut terlibat langsung dalam peristiwa Bandung Lautan Api.

Komponis senior Indonesia, AT Mahmud, membenarkan adanya polemik tersebut, dengan menyebutkan bahwa lagu tersebut tidak diketahui siapa penciptanya, menurut kutipan dari surat kabar Pikiran Rakyat edisi 23 Maret 2007.

""Informasi yang saya dengar, lagu tersebut, seharusnya, NN (No Name; Pencipta tak diketahui-red.)". Saya sendiri tak tahu bagaimana kemudian lagu itu jadi ciptaan Ismail Marzuki,” ungkapnya, ketika dihubungi, Kamis (22/3) petang. "

Anggapan lagu diciptakan oleh Ismail Marzuki

Sejauh ini, masyarakat Indonesia menganggap bahwa lagu perjuangan tersebut merupakan ciptaan Ismail Marzuki, berdasarkan informasi dari bermacam sumber. Akan tetapi, banyak orang yang meragukannya. Hal ini disebabkan karena berkecenderungan Ismail untuk mencipta lagu-lagu berirama lambat dan romantis. Sementara Halo-Halo Bandung dimasukkan dalam kategori lagu mars yang berirama cepat dan heroik.

Keraguan masyarakat ini ditentang oleh pengamat musik Indonesia yang mengatakan bahwa Ismail Marzuki adalah pencipta lagu yang dinamis. Mereka tetap meyakini Ismail Marzuki sebagai pencipta lagu tersebut karena terdapat sisi romantisme yang adalah ciri khas Ismail Marzuki dalam lagu tersebut.

Anggapan lagu diciptakan oleh Cornel Simanjuntak
Anggapan ini muncul dari buku-buku cetak sekolah maupun sumber akademis yang kerap kali menuliskan bahwa Cornel Simanjuntak, salah seorang pencipta lagu dan pahlawan nasional Indonesia kelahiran Sumatera Utara, adalah pencipta lagu Halo, Halo Bandung.

Anggapan lagu diciptakan oleh Bona L Tobing
Ibu Kasur, salah seorang tokoh komponis senior Indonesia, mengatakan bahwa mendiang suaminya, Pak Kasur yang juga tokoh komponis Indonesia, mengatakan bahwa lagu tersebut diciptakan oleh seseorang bernama Tobing, menurut surat kabar Pikiran Rakyat edisi yang sama.

Dalam buku Saya Pilih Mengungsi, Pestaraja Marpaung menyatakan bahwa Bona L Tobing adalah orang yang pertama kali mengucapkan "Halo! Halo Bandung!" yang menjadi sumber inspirasi lagu tersebut. Seperti dikutip dari surat kabar Pikiran Rakyat yang sama lagi.

"Ceritanya, pada suatu malam, di Ciparay, diselenggarakan perayaan Batak. Di sana, disediakan pula sebuah panggung dan memberikan kesempatan kepada pengunjung yang ingin menyumbangkan lagu. Seorang pemuda Batak bernama Bona L. Tobing, tiba-tiba menyapa, "Halo!" kepada Kota Bandung di kejauhan, “Halo Bandung!". Kemudian sapaan itu memiliki irama, “Halo-Halo Bandung” seperti irama yang dikenal saat ini. "Akan tetapi, irama itu tidak selesai karena malam sudah larut,".[4]

Anggapan lagu diciptakan oleh para pejuang Bandung Selatan

Di dalam buku Saya Pilih Mengungsi, Pestaraja Marpaung, yang akrab dipanggil Bang Maung, menyebutkan bahwa lagu tersebut bukan ciptaan perseorangan melainkan merupakan ciptaan bersama para pejuang di Ciparay, Bandung Selatan, tanpa melihat asal-usul suku bangsa. Hal tersebut dicerminkan dengan penggunaan kata "Halo!" yang adalah sapaan khas pemuda dari Medan, Sumatera Utara, yang ditimbulkan dari pengaruh film-film koboi dari Amerika yang sering diputar pada waktu itu. Ditambah dengan penggunaan kata "beta", bahasa daerah Ambon, Maluku, yang berarti "saya".

Berikut kutipan dari buku Saya Pilih Mengungsi tentang cerita Pestaraja Marpaung mengenai penciptaan lagu Halo, Halo Bandung.

"Sebagai pejuang, Bang Maung pun turut menyusup ke Kota Bandung, setiap malam, setelah peristiwa Bandung Lautan Api. "Siang hari tidak ada kerja. Jadi di Ciparay ini, anak-anak Bandung dari Pasukan Istimewa tiduran. ‘Eh, lagu yang kemarin itu mana? Halo! Halo Bandung! de-de-de— (berirama menurun).’ Setelah lama, orang Ambon juga ikut. Pemuda Indonesia Maluku itu, di antaranya Leo Lopulisa, Oom Teno, Pelupessy. Sesudah Halo-Halo Bandung, datang orang Ambonnya. Sudah lama beta! tidak bertemu dengan kau!’ Karena itu, ada ‘beta’ di situ. Bagaimana kata itu bisa masuk kalau tidak ada dia di situ. Si Pelupessy-lah itu, si Oom Tenolah itu, saya enggak tahu. Tapi, sambil nyanyi bikin syair. Itulah para pejuang yang menciptakannya. Tidak ada itu yang menciptakan. Kita sama-sama saja main-main begini. Jadi, kalau dikatakan siapa pencipta (Halo-Halo) Bandung? Para pejuang Bandung Selatan,” ucapnya."

Source : Wikipedia

Bandung Lautan Api (24 Maret 1946)


SUATU hari di Bulan Maret 1946, dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk mengukir sejarah dengan membakar rumah dan harta benda mereka, meninggalkan kota Bandung menuju pegunungan di selatan.
Beberapa tahun kemudian, lagu "Halo-Halo Bandung" ditulis untuk melambangkan emosi mereka, seiring janji akan kembali ke kota tercinta, yang telah menjadi lautan api.

Insiden Perobekan Bendera
Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia belum sepenuhnya merdeka. Kemerdekaan harus dicapai sedikit demi sedikit melalui perjuangan rakyat yang rela mengorbankan segalanya. Setelah Jepang kalah, tentara Inggris datang untuk melucuti tentara Jepang. Mereka berkomplot dengan Belanda (tentara NICA) dan memperalat Jepang untuk menjajah kembali Indonesia.

Berita pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan dari Jakarta diterima di Bandung melalui Kantor Berita DOMEI pada hari Jumat pagi, 17 Agustus 1945. Esoknya, 18 Agustus 1945, cetakan teks tersebut telah tersebar. Dicetak dengan tinta merah oleh Percetakan Siliwangi. Di Gedung DENIS, Jalan Braga (sekarang Gedung Bank Jabar), terjadi insiden perobekan warna biru bendera Belanda, sehingga warnanya tinggal merah dan putih menjadi bendera Indonesia. Perobekan dengan bayonet tersebut dilakukan oleh seorang pemuda Indonesia bernama Mohammad Endang Karmas, dibantu oleh Moeljono.

Tanggal 27 Agustus 1945, dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR), disusul oleh terbentuknya Laskar Wanita Indonesia (LASWI) pada tanggal 12 Oktober 1945. Jumlah anggotanya 300 orang, terdiri dari bagian pasukan tempur, Palang Merah, penyelidikan dan perbekalan.

Peristiwa yang memperburuk keadaan terjadi pada tanggal 25 November 1945. Selain menghadapi serangan musuh, rakyat menghadapi banjir besar meluapnya Sungai Cikapundung. Ratusan korban terbawa hanyut dan ribuan penduduk kehilangan tempat tinggal. Keadaan ini dimanfaatkan musuh untuk menyerang rakyat yang tengah menghadapi musibah.

Berbagai tekanan dan serangan terus dilakukan oleh pihak Inggris dan Belanda. Tanggal 5 Desember 1945, beberapa pesawat terbang Inggris membom daerah Lengkong Besar. Pada tanggal 21 Desember 1945, pihak Inggris menjatuhkan bom dan rentetan tembakan membabi buta di Cicadas. Korban makin banyak berjatuhan.

Bandoeng Laoetan Api
Ultimatum agar Tentara Republik Indonesia (TRI) meninggalkan kota dan rakyat, melahirkan politik "bumihangus". Rakyat tidak rela Kota Bandung dimanfaatkan oleh musuh. Mereka mengungsi ke arah selatan bersama para pejuang. Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui musyawarah Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan perjuangan, pada tanggal 24 Maret 1946.

Kolonel Abdul Haris Nasution selaku Komandan Divisi III, mengumumkan hasil musyawarah tersebut dan memerintahkan rakyat untuk meninggalkan Kota Bandung. Hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang meninggalkan kota.

Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat dengan maksud agar Sekutu tidak dapat menggunakannya lagi. Di sana-sini asap hitam mengepul membubung tinggi di udara. Semua listrik mati. Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran sengit terjadi. Pertempuran yang paling seru terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di mana terdapat pabrik mesiu yang besar milik Sekutu. TRI bermaksud menghancurkan gudang mesiu tersebut. Untuk itu diutuslah pemuda Muhammad Toha dan Ramdan. Kedua pemuda itu berhasil meledakkan gudang tersebut dengan granat tangan. Gudang besar itu meledak dan terbakar, tetapi kedua pemuda itu pun ikut terbakar di dalamnya. Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya akan tetap tinggal di dalam kota, tetapi demi keselamatan maka pada jam 21.00 itu juga ikut keluar kota. Sejak saat itu, kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan TRI. Tetapi api masih membubung membakar kota. Dan Bandung pun berubah menjadi lautan api.

Pembumihangusan Bandung tersebut merupakan tindakan yang tepat, karena kekuatan TRI dan rakyat tidak akan sanggup melawan pihak musuh yang berkekuatan besar. Selanjutnya TRI bersama rakyat melakukan perlawanan secara gerilya dari luar Bandung. Peristiwa ini melahirkan lagu "Halo-Halo Bandung" yang bersemangat membakar daya juang rakyat Indonesia.

Bandung Lautan Api kemudian menjadi istilah yang terkenal setelah peristiwa pembakaran itu. Banyak yang bertanya-tanya darimana istilah ini berawal. Almarhum Jenderal Besar A.H Nasution teringat saat melakukan pertemuan di Regentsweg (sekarang Jalan Dewi Sartika), setelah kembali dari pertemuannya dengan Sutan Sjahrir di Jakarta, untuk memutuskan tindakan apa yang akan dilakukan terhadap Kota Bandung setelah menerima ultimatum Inggris.

kutipan :
Jadi saya kembali dari Jakarta, setelah bicara dengan Sjahrir itu. Memang dalam pembicaraan itu di Regentsweg, di pertemuan itu, berbicaralah semua orang. Nah, disitu timbul pendapat dari Rukana, Komandan Polisi Militer di Bandung. Dia berpendapat, “Mari kita bikin Bandung Selatan menjadi lautan api.” Yang dia sebut lautan api, tetapi sebenarnya lautan air”
A.H Nasution, 1 Mei 1997

Istilah Bandung Lautan Api muncul pula di harian Suara Merdeka tanggal 26 Maret 1946. Seorang wartawan muda saat itu, yaitu Atje Bastaman, menyaksikan pemandangan pembakaran Bandung dari bukit Gunung Leutik di sekitar Pameungpeuk, Garut. Dari puncak itu Atje Bastaman melihat Bandung yang memerah dari Cicadas sampai dengan Cimindi.

Setelah tiba di Tasikmalaya, Atje Bastaman dengan bersemangat segera menulis berita dan memberi judul Bandoeng Djadi Laoetan Api. Namun karena kurangnya ruang untuk tulisan judulnya, maka judul berita diperpendek menjadi Bandoeng Laoetan Api.
Sumber: Bandung Society For Herritage Conservation

Senin, 08 Februari 2010

Sejarah Pemilu 1955 di Indonesia

Inilah pemilihan umum pertama yang diadakan secara nasional, setelah pengalaman yang minim pada pemilihan umum propinsi dan kotapraja di era kolonial. Sebelum Perang Dunia Kedua meletus, pemerintah kolonial Belanda menyelenggarakan pemilihan anggota Volksraad (Dewan Rakyat) yang sama sekali tidak memberikan pengalaman demokrasi buat para penyelenggara republik yang baru ini. Walau miskin pengalaman, hajatan nasional 1955 itu sukses besar. Di sanjung para petinggi dunia.

Sesungguhnya pemilihan umum ini sudah direncanakan sejak dua bulan setelah proklamasi kemerdekaan. Pada 5 Oktober 1945 pemerintah mengumumkan tentang rencana pelaksanaan Pemilu, dan pada 1946 Pemilu sempat diselenggarakan di Karesidenan Kediri dan Surakarta.

Agresi militer Belanda, iklim politik yang panas dingin pada masa revolusi dan penyelesaian terhadap agresi militer Belanda yang bertele-tele menyebabkan pemilu terus tertunda. Perhatian para pemimpin republik terfokus pada menyelesaikan sengketa dengan Belanda di meja perundingan.

Menyusul hasil keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949, Indonesia menjadi negara yang berdaulat sepenuhnya. Bentuk federal Republik Indonesia Serikat (RIS) yang menjadi salah satu kesepakatan KMB tidak berumur panjang. Negara-negara federal bikinan Belanda pada akhirnya mau tak mau mengikuti kehendak umum kelompok nasionalis. Maka meleburkan Negara-negara federasi itu ke dalam negara kesatuan.

Sejak 1950 berbagai kabinet yang silih berganti memerintah gagal memenuhi janjinya untuk menyelenggarakan Pemilu. Pertikaian militer versus sipil pada peristiwa 17 Oktober 1952 menmbuat situasi politik dalam negeri terus mendidih. Kabinet koalisi PNI-Masjumi-PSI yang dipimpin Wilopo sebetulnya sudah goyah dengan berbagai persoalan politik yang terjadi baik di dalam maupun di luar parlemen. Tuntutan pembubaran parlemen oleh sekelompok militer dalam peristiwa 17 Oktober 1952 yang kemudian ditolak oleh Presiden Soekarno, perlahan beralih menjadi isu penyelenggaraan pemilu.

Pada November 1952 Kabinet Wilopo mengajukan rancangan undang-undang pemilihan umum baru. Dia mendapat sokongan dari beberapa kalangan, termasuk mereka yang terkenal vokal dan aktif secara politis. Undang-undang pemilihan umum ini meniru apa yang telah dilakukan di India pada 1951-1952. Sistem perwakilan proporsional diajukan kepada parlemen dan disetujui secara aklamasi. Undang-undang tersebut membagi Indonesia ke dalam 16 daerah pemilihan. Pendaftaran pemilih mulai dilaksanakan pada Mei 1954 dan baru selesai pada November. Ada 43.104.464 pemilih yang memenuhi syarat masuk bilik suara.

Kabinet Wilopo berakhir dan digantikan oleh Ali Sastroamidjojo. Namun belum lagi Pemilu diselenggarakan, krisis politik mendera Kabinet Ali Sastroamidjojo yang membuatnya terpental jatuh. Kabinet Ali Sastroamidjojo digantikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap dari Masjumi. Pemilu baru berhasil diselenggarakan di bawah pemerintahan Burhanuddin Harahap.

Menurut George McTurnan Kahin, pemilu 1955 tersebut begitu penting sebab dengan itu kekuatan partai-partai politik terukur lebih cermat dan parlemen yang dihasilkan lebih bermutu sebagai lembaga perwakilan. Sebelum pemilu, parlemen selalu menjadi sasaran kekecewaan, terutama dari kelompok militer yang merasa kepentingannya selalu dicampuri. Selain itu, masyarakat luas juga memiliki harapan akan suksesnya pemilu karena kabinet berulang-kali jatuh-bangun; wewenang pemerintah yang selalu mendapat rintangan dari tentara; korupsi; nepotisme dan pemerintah yang terkesan lumpuh di dalam menghadapi berbagai persoalan.

Karena belum ada lembaga penyelenggara pemilihan umum yang mapan, pengorganisasian pemungutan suara menjadi tanggungjawab pemerintah dan wakil-wakil partai politik. Organisasi itu terdapat pada setiap jenjang pemerintahan, mulai dari pusat sampai ke tingkat desa. Di banyak pedesaan petugas pemilihan umum dipercayakan kepada panitia-panitia yang malahan sama sekali tak bisa membaca.

Dalam waktu-waktu terakhir menjelang pelaksanaan Pemilu, panitia disibukkan dengan pelatihan pemungutan suara di seluruh wilayah pemilihan. Penduduk juga diajak terlibat aktif di dalam persiapan kegiatan pemilu. Mereka diperkenalkan dengan tanda gambar dan cara menyoblos kertas suara.

Partai-partai berjuang untuk merebut simpati rakyat dengan berbagai jalan, salah satunya mengembangkan cara kampanye simpatik dengan mengunjungi rumah penduduk satu per satu. Penggalangan massa ini dinilai efektif untuk meyakinkan calon pemilih yang masih ragu-ragu untuk menentukan pilihannya.

Dengan berbagai macam problem yang merintangi, pemilu berhasil diselenggarakan. PNI keluar sebagai peraih suara terbanyak dengan 8.434.653 suara untuk Parlemen dan 9.070.218 untuk Konstituante. Kemenangan PNI disusul oleh Masyumi, Nahdlatul Ulama dan PKI. Sementara itu PSI sebagai partai yang populer di lingkungan intelektual, harus puas berada di posisi ke-8 dengan perolehan suara 753.191 untuk Parlemen dan 544.803 untuk Konstituante.

Penyelenggaraan Pemilu 1955 menelan biaya Rp 479.891.729. Angka itu dikeluarkan untuk membiayai perlengkapan teknis pemilihan seperti pembuatan kotak suara dan honorarium panitia penyelenggara Pemilu. Menurut Herbert Feith dana Pemilu itu sebenarnya terlampau mahal. Salah satu faktor yang mendongkrak kenaikan biaya adalah kelambanan unit-unit kerja panitia Pemilu yang pada akhirnya menambah beban biaya.

Pada 26 Maret 1956, sebagai hasil dari Pemilu, dibentuklah Parlemen yang kemudian diikuti pembentukan Konstituante pada 10 November. Parlemen baru itu terdiri dari wakil-wakil 28 partai peserta Pemilu, organisasi dan perkumpulan pemilih yang dibagi ke dalam 17 fraksi atau kelompok parlemen. Harapan pembaruan wajah parlemen terpenuhi dengan tampilnya politisi-politisi baru yang sebelumnya tidak pernah duduk di Parlemen lama.

Kesuksesan menyelenggarakan Pemilu yang jujur dan adil, terlebih di saat negeri ini baru saja merdeka dan sebagian besar panitia penyelenggaranya buta huruf, dianggap sebagai pencapaian besar bangsa Indonesia dalam berdemokrasi.
sumber : Vivanews.com

Daftar Peserta Pemilu dari tahun ke tahun
Parpol Peserta Pemilu 1955

Pemilu 1955 diikuti oleh 172 Parpol kontestan Pemilu. Empat partai besar diantaranya yaitu: PNI (22,3 %), Masyumi (20,9%), Nahdlatul Ulama (18,4%), dan PKI (15,4%).

Parpol Peserta Pemilu 1971

Pemilu 1971 diikuti oleh sepuluh kontestan:

1. Partai Katolik
2. Partai Syarikat Islam Indonesia
3. Partai Nahdlatul Ulama
4. Partai Muslimin Indonesa
5. Golongan Karya
6. Partai Kristen Indonesia
7. Partai Musyawarah Rakyat Banyak
8. Partai Nasional Indonesia
9. Partai Islam PERTI
10. Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia

Parpol Peserta Pemilu 1977-1997

Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 diikuti oleh tiga kontestan yang sama, yaitu:

1. Partai Persatuan Pembangunan
2. Golongan Karya
3. Partai Demokrasi Indonesia

Parpol peserta Pemilu 1999

Pemilu 1999 diikuti oleh 48 partai politik, antara lain:

1. Partai Indonesia Baru
2. Partai Kristen Nasional Indonesia
3. Partai Nasional Indonesia
4. Partai Aliansi Demokrat Indonesia
5. Partai Kebangkitan Muslim Indonesia
6. Partai Ummat Islam
7. Partai Kebangkitan Umat
8. Partai Masyumi Baru
9. Partai Persatuan Pembangunan
10. Partai Syarikat Islam indonesia
11. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
12. Partai Abul Yatama
13. Partai Kebangsaan Merdeka
14. Partai Demokrasi Kasih Bangsa
15. Partai Amanat Nasional
16. Partai Rakyat Demokrat
17. Partai Syarikat Islam Indonesia - 1905
18. Partai Katolik Demokrat
19. Partai Pilihan Rakyat
20. Partai Rakyat Indonesia
21. Partai Politik Islam Indonesia Masyumi
22. Partai Bulan Bintang
23. Partai Solidaritas Pekerja
24. Partai Keadilan
25. Partai Nahdlatul Ummat
26. Partai Nasional Indonesia - Front Marhaenis
27. Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia
28. Partai Republik
29. Partai Islam Demokrat
30. Partai Nasional Indonesia - Massa Marhaen
31. Partai Musyawarah Rakyat Banyak
32. Partai Demokrasi Indonesia
33. Partai Golongan Karya
34. Partai Persatuan
35. Partai Kebangkitan Bangsa
36. Partai Uni Demokrasi Indonesia
37. Partai Buruh Nasional
38. Partai Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong
39. Partai Daulat Rakyat
40. Partai Cinta Damai
41. Partai Keadilan dan Persatuan
42. Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia
43. Partai Nasional Bangsa Indonesia
44. Partai Bhinneka Tunggal Ika Indonesia
45. Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia
46. Partai Nasional Demokrat
47. Partai Umat Muslimin Indonesia
48. Partai Pekerja Indonesia

Sabtu, 06 Februari 2010

Sejarah Bandung

Mengenai asal-usul nama "Bandung", dikemukakan berbagai pendapat.
Sebagian mengatakan bahwa, kata "Bandung" dalam bahasa Sunda, identik
dengan kata "banding" dalam Bahasa Indonesia, berarti berdampingan.
Ngabanding (Sunda) berarti berdampingan atau berdekatan. Hal ini antara
lain dinyatakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai
Pustaka (1994) dan Kamus Sunda-Indonesia terbitan Pustaka Setia (1996),
bahwa kata bandung berarti berpasangan dan berarti pula berdampingan.

Pendapat lain mengatakan, bahwa kata "bandung" mengandung arti besar
atau luas. Kata itu berasal dari kata bandeng. Dalam bahasa Sunda,
ngabandeng berarti genangan air yang luas dan tampak tenang, namun
terkesan menyeramkan. Diduga kata bandeng itu kemudian berubah bunyi
menjadi Bandung. Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa kata Bandung
berasal dari kata bendung.

Pendapat-pendapat tentang asal dan arti kata Bandung, rupanya berkaitan
dengan peristiwa terbendungnya aliran Sungai Citarum purba di daerah
Padalarang oleh lahar Gunung Tangkuban Parahu yang meletus pada masa
holosen (± 6000 tahun yang lalu).

Akibatnya, daerah antara Padalarang sampai Cicalengka (± 30 kilometer)
dan daerah antara Gunung Tangkuban Parahu sampai Soreang (± 50
kilometer) terendam menjadi sebuah danau besar yang kemudian dikenal
dengan sebutan Danau Bandung atau Danau Bandung Purba. Berdasarkan
hasil penelitian geologi, air Danau Bandung diperkirakan mulai surut
pada masa neolitikum (± 8000 - 7000 sebelum Masehi). Proses surutnya
air danau itu berlangsung secara bertahap dalam waktu berabad-abad.

Secara historis, kata atau nama Bandung mulai dikenal sejak di daerah
bekas danau tersebut berdiri pemerintah Kabupaten bandung (sekitar
decade ketiga abad ke-17). Dengan demikian, sebutan Danau Bandung
terhadap danau besar itu pun terjadi setelah berdirinya Kabupaten
Bandung.

Berdirinya Kabupaten Bandung

Sebelum Kabupaten Bandung berdiri, daerah Bandung dikenal dengan
sebutan "Tatar Ukur". Menurut naskah Sadjarah Bandung, sebelum
Kabupaten Bandung berdiri, Tatar Ukur adalah termasuk daerah Kerajaan
Timbanganten dengan ibukota Tegalluar. Kerajaan itu berada dibawah
dominasi Kerajaan Sunda-Pajajaran. Sejak pertengahan abad ke-15,
Kerajaan Timbanganten diperintah secara turun temurun oleh Prabu
Pandaan Ukur, Dipati Agung, dan Dipati Ukur. Pada masa pemerintahan
Dipati Ukur, Tatar Ukur merupakan suatu wilayah yang cukup luas,
mencakup sebagian besar wilayah Jawa Barat, terdiri atas sembilan
daerah yang disebut "Ukur Sasanga".

Setelah Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh (1579/1580) akibat gerakan
Pasukan banten dalam usaha menyebarkan agama Islam di daerah Jawa
Barat, Tatar Ukur menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang,
penerus Kerajaan Pajajaran. Kerajaan Sumedanglarang didirikan dan
diperintah pertama kali oleh Prabu Geusan Ulun pada (1580-1608), dengan
ibukota di Kutamaya, suatu tempat yang terletak sebelah Barat kota
Sumedang sekarang. Wilayah kekuasaan kerajaan itu meliputi daerah yang
kemudian disebut Priangan, kecuali daerah Galuh (sekarang bernama
Ciamis).

Ketika Kerajaan Sumedang Larang diperintah oleh Raden Suriadiwangsa,
anak tiri Geusan Ulun dari rtu Harisbaya, Sumedanglarang menjadi daerah
kekuasaan Mataram sejak tahun 1620. Sejak itu status Sumedanglarang pun
berubah dari kerajaan menjadi kabupaten dengan nama Kabupaten Sumedang.
Mataram menjadikan Priangan sebagai daerah pertahanannya di bagian
Barat terhadap kemungkinan serangan Pasukan Banten dan atau Kompeni
yang berkedudukan di Batavia, karena Mataram di bawah pemerintahan
Sultan Agung (1613-1645) bermusuhan dengan Kompeni dan konflik dengan
Kesultanan Banten.

Untuk mengawasi wilayah Priangan, Sultan Agung mengangkat Raden Aria
Suradiwangsa menjadi Bupati Wedana (Bupati Kepala) di Priangan
(1620-1624), dengan gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata, terkenal
dengan sebutan Rangga Gempol I.

Tahun 1624 Sultan agung memerintahkan Rangga Gempol I untuk menaklukkan
daerah Sampang (Madura). Karenanya, jabatan Bupati Wedana Priangan
diwakilkan kepada adik Rangga Gempol I pangeran Dipati Rangga Gede.
Tidak lama setelah Pangeran Dipati Rangga Gede menjabat sebagai Bupati
Wedana, Sumedang diserang oleh Pasukan Banten. Karena sebagian Pasukan
Sumedang berangkat ke Sampang, Pangeran Dipati Rangga Gede tidak dapat
mengatasi serangan tersebut. Akibatnya, ia menerima sanksi politis dari
Sultan Agung. Pangeran Dipati Rangga Gede ditahan di Mataram. Jabatan
Bupati Wedana Priangan diserahkan kepada Dipati Ukur, dengan syarat ia
harus dapat merebut Batavia dari kekuasaan Kompeni.

Tahun 1628 Sultan Agung memerintahkan Dipati Ukur untuk membantu
pasukan Mataram menyerang Kompeni di Batavia. Akan tetapi serangan itu
mengalami kegagalan. Dipati Ukur menyadari bahwa sebagai konsekwensi
dari kegagalan itu ia akan mendapat hukuman seperti yang diterima oleh
Pangeran Dipati Rangga gede, atau hukuman yang lebih berat lagi. Oleh
karena itu Dipati Ukur beserta para pengikutnya membangkang terhadap
Mataram. Setelah penyerangan terhadap Kompeni gagal, mereka tidak
datang ke Mataram melaporkan kegagalan tugasnya. Tindakan Dipati Ukur
itu dianggap oleh pihak Mataram sebagai pemberontakan terhadap penguasa
Kerajaan Mataram.

Terjadinya pembangkangan Dipati Ukur beserta para pengikutnya
dimungkinkan, antara lain karena pihak Mataram sulit untuk mengawasi
daerah Priangan secara langsung, akibat jauhnya jarak antara Pusat
Kerajaan Mataram dengan daerah Priangan. Secara teoritis, bila daerah
tersebut sangat jauh dari pusat kekuasaan, maka kekuasaan pusat di
daerah itu sangat lemah. Walaupun demikian, berkat bantuan beberapa
Kepala daerah di Priangan, pihak Mataram akhirnya dapat memadamkan
pemberontakan Dipati Ukur. Menurut Sejarah Sumedang (babad), Dipati
Ukur tertangkap di Gunung Lumbung (daerah Bandung) pada tahun 1632.


Era Pajajaran

Pada tahun 1488, daerah yang sekarang dikenal dengan nama Bandung tadinya adalah ibukota Kerajaan Padjajaran. Tetapi dari penemuan arkeologi kuno, kita mengetahui bahwa kota tersebut adalah rumah bagi Australopithecus, Manusia Jawa. Orang-orang ini tinggal di pinggiran sungai Cikapundung sebelah Utara Bandung, dan di pesisir Danau Bandung yang terkenal. Artifak Batu Api masih dapat ditemukan di daerah Dago atas dan di Museum Geologi terdapat gambar dan fragmen dari sisa tengkorak dan artifak.

Masyarakat Sunda adalah petani-petani yang bergantung pada kesuburan tanah di Bandung. Mereka mengembangkan tradisi lisan yang hidup yang didalamnya mencakup pertunjukan wayang golek, dan banyak jenis pertunjukan musik lainya. "Ada sebuah kota bernama Bandung, berisikan 25 sampai 30 rumah," tulis Juliaen de Silva pada tahun 1614.

Berdirinya Kota Bandung
Awal mula berdirinya Kota Bandung tidak lepas dari jasa dan kiprah Wiranatakusumah II, yang menjadi Bupati Kabupaten Bandung (1794-1829). Pada saat itu, ibu kota kabupaten terletak di Karapyak (sekarang Dayeuhkolot).

Bandung pun sempat dipersiapkan sebagai ibu kota Hindia Belanda, dengan rencana memindahkan Batavia ke Bandung. Maka, langkah persiapan itu direncanakan. Salah satunya dengan membangun bangunan-bangunan pemerintahan dan pemukiman dengan rencana tata ruang yang baik.

Tak heran apabila kita banyak melihat bangunan-bangunan kolonial di Kota Bandung dengan arsitekturnya yang menarik perhatian. Namun sejalan dengan perkembangan Kota Bandung, banyak sekali bangunan-bangunan bersejarah peninggalan kolonial yang dirobohkan dan diganti dengan bangunan-bangunan modern yang angkuh.

Apabila kita amati dengan baik, peninggalan-peninggalan bangunan kolonial yang ada di Bandung tidak dibuat dengan sembarangan, namun sudah direncanakan dengan perancangan yang baik.

Menurut buku “Ciri Perancangan Kota Bandung”, faktor ruang merupakan salah satu hal yang tidak boleh diabaikan dalam upaya mendapatkan kesan tertentu bagi penampilan suatu bangunan. Untuk memberikan penampilan visual yang terbaik bagi pengamat, penampilan suatu bangunan harus diperhatikan, dari segi bentuk maupun perletakannya dan disesuaikan dengan fungsi dari bangunan tersebut.

Dalam buku yang ditulis oleh Djefry W. Dana tahun 1990 tersebut, di Kota Bandung ini terdapat bangunan-bangunan yang sudah dirancang sedemikian rupa sehingga mempercantik wajah kota. Antara lain, bangunan dengan perletakan mundur. Salah satu cara yang dapat dipakai mendukung penampilan bangunan adalah dengan perletakan lebih mundur dari garis sempadan (set-back). Cara ini dimaksudkan untuk memberikan jarak pandang antara pengamat dan objek, sehingga diharapkan pengamat mempunyai keleluasaan pandangan saat menikmati bangunan tersebut dan menciptakan kesan agung, megah dan berwibawa pada persepsi pengamat.

Di Bandung, ada beberapa bangunan yang mempunyai perletakan lebih mundur dari garis sempadan yang ada, yaitu antara lain: Gedung Sate, Gedung Dwi Warna, Gedung Pasteur, Rumah Sakit Hasan Sadikin, Gedung Balai Kota Bandung, Stasiun Kereta Api, dan kantor Powiltabes Bandung di jalan Merdeka.

Kemudian adalah bangunan sudut dan persimpangan jalan seperti kita ketahui, merupakan daerah tempat manusia dan kendaraan berjalan perlahan-lahan, memperlambat pergerakannya, atau berhenti sejenak untuk mengamati keadaan atau situasi di sekelilingnya.

Kota Bandung memiliki beberapa bangunan sudut dengan penyelesaian rancangan yang baik dan menarik sehingga mempunyai peranan yang cukup penting bagi lingkungan kota, misalnya sebagai ciri lingkungan maupun local point–apabila keberadaannya pada lingkungan tersebut demikian menonjol.

Beberapa bangunan sudut di Kota Bandung menggunakan penyelesaian kurva linier, contohnya adalah Bank Jabar yang terletak di Jalan Naripan.

Kemudian, bangunan sudut dengan menggunakan menara tunggal maupun ganda, contoh Bank Mandiri (dulu dikenal dengan nama Escampto Bank) yang terletak di persimpangan Jalan Asia Afrika dan Jalan Banceuy. Juga gedung Balai Keselamatan yang terletak di persimpangan Jalan Sumatera dan Jalan Jawa, bangunan sudut yang terletak di simpang lima, bangunan sudut yang terletak di persimpangan Jalan Bungsu dan Jalan Sunda, gedung SMPN 5 dengan menara gandanya yang menghadap ke arah persimpangan Jalan Jawa-Jalan Sumatera.

Selain bangunan sudut dengan rancangan yang menggunakan kurva linier, menara tunggal dan ganda, ada pula rancangan bentuk lengkung pada sudut jalan.

Beberapa bangunan bersejarah di Kota Bandung, ada yang sudah dirobohkan dan diganti dengan bangunan baru. Salah satunya adalah gedung Singer yang terletak di simpang lima. Gedung Singer adalah satu contoh pengalaman pahit. Tapi dari situ, kita dapat berkaca kembali. Masih ada kesempatan untuk belajar dari pengalaman yang lalu untuk kemudian bertindak, mempertahankan milik kita yang tersisa. Kalau kita mau…***

Sumber: Pikiran Rakyat, Selasa, 20 September 2005

Kamis, 04 Februari 2010

Perang Jawa (1825 - 1830)


Perang Jawa juga dikenal sebagai Perang Diponegoro, perang ini cukup membuat Belanda cukup pusing karena perang ini menelan biaya dan korban pasukan yang amat besar. Karena perang inilah pemerintah Belanda akhirnya membuat sistem tanam paksa (cultuur stelsel) demi mengisi kantong mereka yang hampir kosong akibat perang. Ketidak puasan rakyat petani melatari perang ini, penghinaan terhadap makam keluarga Pangeran Diponegoro menjadi pemicunya.

Pangeran Diponegoro
Sebelas November 1785, keluarga kraton Ngayogyakarta Hadiningrat berbahagia. Hamengku Buwono III (HB-III), hari itu, mempunyai anak pertama yang dinamai Antawirya. Konon Hamengkubuwono I (HB-I) sangat tertarik pada cicitnya itu. Ia, katanya, akan melebihi kebesarannya. Ia akan memusnahkan Belanda.
Antawirya dibesarkan di Tegalrejo dalam asuhan Ratu Ageng, istri HB-I. Di sana ia belajar mengaji Quran dan nilai-nilai Islam. Tegalrejo juga memungkinkannya untuk lebih dekat dengan rakyat. Spiritualitasnya makin terasah dengan kesukaannya berkhalwat atau menyepi di bukit-bukit dan gua sekitarnya. Hal demikian membuat Antawirya semakin tak menikmati bila berada di kraton yang mewah, dan bahkan sering mengadakan acara-acara model Barat. Termasuk dengan pesta mabuknya. Kabarnya, Antawirya hanya “sowan” ayahnya dua kali dalam setahun. Yakni saat Idul Fitri dan ‘Gerebeg Maulid“.
Antawirya kemudian bergelar Pangeran Diponegoro. Ia tumbuh sebagai seorang yang sangat disegani. Ayahnya hendak memilihnya sebagai putra mahkota. Ia menolak. Ia tak dapat menikmati tinggal di istana. Ia malah menyarankan ayahnya agar memilih Djarot, adiknya, sebagai putra mahkota. Ia hanya akan mendampingi Djarot kelak.
Saat sultan Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwono III wafat tahun 1824, terjadi gejolak di tanah Yogyakarta, kerabat keraton berlomba lomba mengisi tahta. Seharusnya pada saat itu yang menjadi Sultan selanjutnya adalah anak tertua Hamengkubuwono III yang bernama pangeran Diponegoro. Tapi sayang, karena ibu Pangeran Diponegoro hanyalah istri selir, maka yang naik tahta adalah Pangeran Jarot, walau dia masih berumur 13 tahun. Pangeran Jarot naik tahta dengan dengan gelar Sultan Hamengkubuwono IV. Sayang beberapa taun kemudian, tahun 1822 Pangeran Jarot meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris seorang anak berusia 2 tahun.
Pangeran Diponegoro berharap kesempatan kali ini ia bisa naik tahta, tapi sayang, dengan campur tangan pemerintah Hindia Belanda, justru putra pangeran Jarot yang berumur 2 tahun itu naik tahta dengan gelar Menol Hamengkubuwono V. Pangeran Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi serta keluarganya hanya diangkat sebagai emban. Karena merasa terhina, Pangeran Diponegoro mengundurkan diri dari keraton dan memilih untuk bertapa di gua. Salah satu gua terkenal tempat pertapaanya dikenal dengan nama Gua Selarong.

Awal Masalah
Pada suatu hari Belanda berniat untuk membuat jalan raya agar transportasi barang dan tanaman berlangsung lebih baik. Belanda membangun jalan melewati makam keluarga Pangeran Diponegoro, saat mendengar itu, Pangeran Diponegoro mengajukan protes secara baik baik pada kantor perwakilan Hindia Belanda di Yogyakarta. namun bukanya mendapat tanggapan, Belanda malah memasang patok patok melewati kuburan tersebut. Akhirnya Pangeran Diponegoro, Pangeran Mangkubumi, serta keluarganya mencabuti patok patok tersebut dan pada saat itulah Pangeran Diponegoro dicap sebagai Pemberontak oleh pemerintah. Sekelompok tentara mencoba menangkap Pangeran Diponegoro dan mangkubumi, pamannya di Desa Tegalredjo. Pada saat itu juga penduduk desa mencegat konvoi tentara itu dengan senjata demi melindungi Pangeran Diponegoro yang sudah dianggap orang suci di tempat itu. Perang pecah, dilangit membumbung warna merah, saat itulah pecah perang Jawa.

Perang Jawa (Perang DIponegoro)
Bulan Juli 1825, berita mengenai perang ini terdengar sampai ke telinga Gubernur Jendral Van Der Capellen. Ia terkejut karena selama ini Yogya terlihat seperti tempat yang aman, namun Pemberontakan pangeran Diponegoro itu menyulut peperangan diseluruh Yogyakarta bahkan Jawa Tengah. Pada saat itu jumlah pasukan Belanda di Jawa tidak cukup untuk meredam pergolakan yang terjadi.
Akhir tahun 1825 Jendral Hendrik De Kock menggantikan Jendral Van der Capellen yang pensiun dan pulang ke Belanda, tugas pertamanya adalah membersihkan perang dan menangkap Pangeran Diponegoro dan sekutunya. Untungnya Kesultanan Surakarta tidak ikut memberontak, Pakubuwono IV (Sultan Surakarta), Mangkunegoro, dan pangeran pangeran lainnya menyatakan kesetiaannya pada Gubermen Belanda.
Diponegoro pun melanjutkan pemberontakan dengan bantuan Sentot Alibasyah dan Kiai Mojo semakin menusuk pertahanan Belanda. Mereka mengajukan perang gerilya, mereka tahu bahwa pasukan Belanda tidak cukup untuk membendung pemberontakan mereka. Tahun 1826, Pangeran Diponegoro memenangkan pertempuran di Ngalengkong, karena kemenangannya membuat rakyat pribumi menjadi simpatik dan ikut berperang menghalau Belanda, Pangeran Diponegoro disebut sebagai Ratu Adil.
De kock mengalami kesulitan mengejar Pangeran ini, karena seranganya selalu dilakukan dalam sekala kecil dan mendadak. Untuk mengatasinya, De Kock membangun benteng benteng kecil yang selalu berhubungan. Dengan taktik ini membuat tentara Diponegoro jadi semakin terpojok dan kesulitan melawan. Bulan April 1826, Letnan Kolonel Cochius, bawahan De Kock menemukan cara untuk menangkap Diponegoro. Ia menawarkan 20.000 real pada siapa saja yang berhasil menangkap Diponegoro, tapi untungnya rakyat Indonesia tidak pernah mau menghianati atasanya, taktik itu tidak berhasil.

Akhir Perang
Tahun 1829, Mangkubumi, paman Diponegoro menyerah pada Belanda akibat tekanan dari prajurit prajuri Belanda yang semakin banyak didatangkan ke Jawa. Beberapa saat kemudian, Sentot Alibasyah juga menyerah di tangan Belanda. Kehilangan 2 jendral terbaiknya, Pangeran Diponegoro semakin terdesak, apalagi jumlah pasukannya kian menyusut.
Februari 1830, Diponegoro memutuskan untuk berunding dengan pihak Belanda. Sesuai kesepakatan, Diponegoro datang ke Magelang untuk berunding dengan De Kock. Namun ketika dia datang, pasukan De Kock menangkap Pangeran Diponegoro dengan tuduhan pemberontakan dan sebagai penjahat perang. Akhirnya diapun diasingkan ke Manado, tanggal 8 Januari 1855, Diponegoro wafat dan dikebumikan di Makasar.
Pada perang jawa ini Belanda menderita kerugian yang amat besar, konon Belanda kehilangan 15.000 pasukannya selama Perang Diponegoro.

KNIL (het Koninklijke Nederlansche Indische Leger)



Adalah tentara gabungan orang pribumi dan Belanda yang dibentuk tahun 1830 - 1942. Tujuan utama pembentukan pasukan ini adalah untuk menambah kekuatan militer Belanda setelah cangkupan wilayah jajahannya semakin besar. Pada masa itu banyak perlawanan dari orang pribumi yang melawan Belanda, karena kewalahan dibentuklah satuan tentara gabungan. Tentara ini juga difungsikan untuk melawan tentara Inggris dan Spanyol yang coba coba merebut nusantara dari tangan Belanda.

Perekrutan dari kalangan pribumi dilakukan untuk mengurangi resiko banyaknya tentara Belanda yang tewas karena peluru maupun penyakit kolera. Lagipula untuk merekrut tentara dari Belanda dibutuhkan biaya yang besar.

Struktur tentara KNIL
Tentara gabungan KNIL ini berisi orang orang dengan berbagai latar budaya. Tentu saja para pemimpin dan perwiranya adalah orang Belanda, selain itu juga ada yang dari India dan Arab. Tahun 1929 serdadu KNIL berjumblah 37.000 orang dengan komposisi : 18% orang Eropa, 45% orang Jawa, 5% orang Sunda, 15% orang Menado, 12% orang Ambon, 4% orang Timor dan sisanya orang orang Eropa. Biasanya kesatuan KNIL membagi organisasi sesuai dengan karakter masing masing suku. Pada sebuah batalion biasanya terdiri dari 4 barisan perang.
a. Barisan pertama terdiri dari gabungan orang Belanda dan Manado, bertugas untuk berhadapan langsung dengan musuh, menyerang, menembak, dan membuat lubang pertahanan.
b. Barisan ke dua terdiri dari gabungan antara orang Ambon dan Timor merupakan pasukan penggempur, bertugas menghancurkan musuh.
c. Barisan ke tiga dan empat berisi gabungan antara orang Jawa dan orang Sunda, bertugas untuk melakukan pendudukan dan menciptakan perdamaian di daerah pasca konflik.

Kehidupan
Semua tentara KNIL digaji oleh Belanda sebesar 10 - 12 gulden per bulan untuk orang pribumi, tentu gaji orang Eropanya lebih besar. Mereka semua tinggal di tangsi tangsi, tidak peduli masih bujangan maupun yang telah berkeluarga. Jam dinas militernya adalah dari jam 06.15 - 11.30 kadang kadang sampai jam 16.00. Pada waktu malam semua anggota harus sudah masuk tangsi, serdadu yang masih bujangan tidur dibarak dengan tempat tidur berjajar bersama rekan rekan lainnya. Sedangkan yang sudah berkeluarga baraknya disekat sekat dengan ukuran 3X4 meter, cukup untuk mereka tidur. Sedangkan anak anak nya biawanya ditaruh di bawah tempat tidur, dari sinilah awal istilah "anak kolong" ada. Kamar mandi dan kakus dipakai bersama, tentu dibedakan antara laki laki dan perempuan. Memasak dilakukan bersama di ruang dapur umum.
Bagi para perwira dan bintara disediakan perumahan khusus diluar tangsi sehingga mereka punya kebebasan untuk berumah tangga. Untuk itu gaji para perwira ini biasanya dipotong 12 % untuk membayar sewa fasilitas ini. Diskriminasi antara orang pribumi dan Eropa amatlah besar, segala fasilitas khusus hanya bisa dinikmati oleh pegawai Eropa, gaji merekapun lebih besar dari orang pribumi. Bahkan ada cerita pada masa itu, orang pribumi tidak boleh pakai sepatu untuk mengurangi beban biaya. Namun akhirnya semua tentara diberikan sepatu khusus.

Beberapa istilah dalam KNIL
a. Strapan,
adalah para terhukum yakni para masyarakat yang dapat hukuman seumur hidup atau hukuman berat lainnya, yang bertugas membawa bekal untuk setiap brigade. Biasanya 1 brigade terdidri dari 3 orang strapan. Dalam keadaan tertentu para strapan ini juga dipersenjatai.
b. Mardjikers (Belanda Hitam),
Dalam kesatuan ini direkrut juga beberapa orang Afrika (dari Ghana) sebagai tentara. Karena mereka berkulit hitam mereka mendapat julukan Londo Ireng atau Belanda Hitam.
c. Dardanel (Ajudan)
Adalah sebutan untuk prajurit pribumi yang bertugas untuk menjaga keslamatan seorang perwira Belanda.
d. Korps Marsose
Adalah pasukan elit KNIL. Pasukan ini biasanya dipimpin oleh perwira Belanda namun anggotanya adalah orang pribumi. Pasukan ini mampu bergerak cepat dan memilki banyak variasi senjata. Pasukan ini banyak diterjunkan untuk meredam pemberontakan di Aceh.

Pada tanggal 8 Maret 1942, Belanda menyerah pada Jepang . Pada saat itu anggota KNIL seperti anak ayam yang kehilangan induknya, dibiarkan dan terpencar begitu saja. Beberapa eks KNIL yang tersebar masuk menjadi anggota tentara PETA, beberapa tergabung di BKR dan menjadi cikal bakal TNI.

Senin, 01 Februari 2010

Dimana Supriyadi?

Pemberontakan Tentara Pembela Tanah Air (PETA) pada 14 Februari 1945, hingga kini masih menyisakan berbagai pertanyaan, khususnya mengenai Shodanco Supriyadi, sang inisiator yang sekaligus pemimpin perlawanan terhadap tuannya itu. Disebut tuannya, karena Tentara PETA yang beranggotakan para pemuda pribumi Indonesia itu adalah didikan tentara Pendudukan Jepang, yang akhirnya malah memakan tuannya. Murid melawan Guru.

MENCARI SUPRIYADI
Lebih dari 20 orang nara sumber (pelaku pemberontakan banyak yang sudah meninggal dunia) baik yang bersinggungan langsung atau tidak dengan peristiwa pemberontakan PETA Blitar pernah memberikan keterangan kepada saya. Mereka dengan lancar mengisahkan keterlibatan dirinya dalam peristiwa pemberontakan PETA Blitar, 64 tahun yang silam. Mereka diantaranya adalah mantan anggota tentara PETA Blitar berpangkat Gyuhei, Budhanco, bahkan eks Shodanco, meski bukan dari Daidan Blitar. Di hari tuanya, mereka tersebar di berbagai pelosok dan sudut Blitar, hanya tinggal beberapa orang saja.

Beberapa ahli waris pelaku pemberontakan PETA, mulai dari keluarga Supriyadi di Blitar pun tak luput dari incaran untuk dapat kembali mengisahkan suasana kala itu. Saya melengkapinya dengan menelisik ulang dengan mendatangi nara sumber lainnya. Disebutkan dari berbagai buku mengenai sejarah pemberontakan PETA, terakhir kali terlihat Shodanco Supriyadi berada di kediaman Hardjomiarso, Kepala Desa Sumberagung Kecamatan Gandusari (bahkan desa Sumberagung juga sempat dijadikan markas terakhir pemberontakan). Tak dapat saya temukan narasumber yang bisa memberikan keterangan mengenai sosok Hardjomiarso. Namun demikian, makam sosok Lurah yang banyak membantu Tentara PETA itu dapat saya temukan di desa Sumberagung Gandusari Kabupaten Blitar. Makam keluarga itu terawat dengan baik. Sebuah saksi yang tidak mampu bertutur.

Air terjun Sedudo, di Nganjuk adalah sebuah tempat lainnya di Jawa Timur yang konon menjadi tempat yang pernah disinggahi oleh Supriyadi, pasca pemberontakan. Sebuah nama tertulis juga dalam buku sejarah pemberontakan PETA, bahwa yang bersangkutan ikut membantu ?menyembunyikan? Supriyadi dalam sebuah gua di puncak bukit dekat Sedudo. Dalam cuaca berkabut dan hujan deras, bersama seorang ahli waris ?si penyembunyi? akhirnya say berusaha untuk mendatanginya. Tak terjawabkan pula, dimana Supriyadi berada.

Krisik, adalah sebuah desa di wilayah Kabupaten Blitar yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten Malang. Sebuah gua pertahanan jaman Jepang terdapat di sana. Seharian penuh, akhirnya saya dapat mencapai lokasi dimaksud. Dari data yang saya peroleh, disebutkan tentara PETA dan para romusha yang membuat gua ? gua pertahanan dimaksud. Tak saya dapatkan keterangan tambahan mengenai keberadaan Supriyadi.

Pantai Tambak, Pantai Jolosutro, Pantai Serang di Blitar Selatan. Dilokasi ini, dulu tentara PETA Blitar membuat pertahanan, berlatih dan dengan mata telanjang, mereka melihat ratusan romusha bekerja paksa hingga menemui ajalnya. Supriyadi pernah berada dilokasi dimaksud. Namun kembali tak ada narsumber yang mampu bertutur mengenai adanya.
Panceran desa Ngancar Kecamatan Ngancar di Kabupaten Kediri, dilereng Gunung Kelud juga emplasemen Perkebunan Sumberlumbu, Perkebunan Sumberpetung telah pula saya datangi. Lereng Kelud adalah salah satu tempat yang dijadikan basis gerilya pasca pembontakan. Tak ada keterangan yang bisa menyebut akan keberadaan Supriyadi.

Saksi keberadaan Supriyadi yang masih ada hingga saat ini adalah Bangunan bekas Markas Tentara PETA di jalan Shodanco Supriyadi Blitar. Di kawasan yang kini dijadikan komplek pendidikan ini, terdapat bekas kamar tidur Supriyadi, dapur tentara PETA, bahkan kini telah berdiri megah monumen PETA Blitar. Tujuh patung terwujud disana menggambarkan wajah mereka pada saat pemberontakan terjadi 14 Februari 1945.