Welcome

Kamis, 04 Februari 2010

Perang Jawa (1825 - 1830)


Perang Jawa juga dikenal sebagai Perang Diponegoro, perang ini cukup membuat Belanda cukup pusing karena perang ini menelan biaya dan korban pasukan yang amat besar. Karena perang inilah pemerintah Belanda akhirnya membuat sistem tanam paksa (cultuur stelsel) demi mengisi kantong mereka yang hampir kosong akibat perang. Ketidak puasan rakyat petani melatari perang ini, penghinaan terhadap makam keluarga Pangeran Diponegoro menjadi pemicunya.

Pangeran Diponegoro
Sebelas November 1785, keluarga kraton Ngayogyakarta Hadiningrat berbahagia. Hamengku Buwono III (HB-III), hari itu, mempunyai anak pertama yang dinamai Antawirya. Konon Hamengkubuwono I (HB-I) sangat tertarik pada cicitnya itu. Ia, katanya, akan melebihi kebesarannya. Ia akan memusnahkan Belanda.
Antawirya dibesarkan di Tegalrejo dalam asuhan Ratu Ageng, istri HB-I. Di sana ia belajar mengaji Quran dan nilai-nilai Islam. Tegalrejo juga memungkinkannya untuk lebih dekat dengan rakyat. Spiritualitasnya makin terasah dengan kesukaannya berkhalwat atau menyepi di bukit-bukit dan gua sekitarnya. Hal demikian membuat Antawirya semakin tak menikmati bila berada di kraton yang mewah, dan bahkan sering mengadakan acara-acara model Barat. Termasuk dengan pesta mabuknya. Kabarnya, Antawirya hanya “sowan” ayahnya dua kali dalam setahun. Yakni saat Idul Fitri dan ‘Gerebeg Maulid“.
Antawirya kemudian bergelar Pangeran Diponegoro. Ia tumbuh sebagai seorang yang sangat disegani. Ayahnya hendak memilihnya sebagai putra mahkota. Ia menolak. Ia tak dapat menikmati tinggal di istana. Ia malah menyarankan ayahnya agar memilih Djarot, adiknya, sebagai putra mahkota. Ia hanya akan mendampingi Djarot kelak.
Saat sultan Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwono III wafat tahun 1824, terjadi gejolak di tanah Yogyakarta, kerabat keraton berlomba lomba mengisi tahta. Seharusnya pada saat itu yang menjadi Sultan selanjutnya adalah anak tertua Hamengkubuwono III yang bernama pangeran Diponegoro. Tapi sayang, karena ibu Pangeran Diponegoro hanyalah istri selir, maka yang naik tahta adalah Pangeran Jarot, walau dia masih berumur 13 tahun. Pangeran Jarot naik tahta dengan dengan gelar Sultan Hamengkubuwono IV. Sayang beberapa taun kemudian, tahun 1822 Pangeran Jarot meninggal dunia dan hanya meninggalkan ahli waris seorang anak berusia 2 tahun.
Pangeran Diponegoro berharap kesempatan kali ini ia bisa naik tahta, tapi sayang, dengan campur tangan pemerintah Hindia Belanda, justru putra pangeran Jarot yang berumur 2 tahun itu naik tahta dengan gelar Menol Hamengkubuwono V. Pangeran Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi serta keluarganya hanya diangkat sebagai emban. Karena merasa terhina, Pangeran Diponegoro mengundurkan diri dari keraton dan memilih untuk bertapa di gua. Salah satu gua terkenal tempat pertapaanya dikenal dengan nama Gua Selarong.

Awal Masalah
Pada suatu hari Belanda berniat untuk membuat jalan raya agar transportasi barang dan tanaman berlangsung lebih baik. Belanda membangun jalan melewati makam keluarga Pangeran Diponegoro, saat mendengar itu, Pangeran Diponegoro mengajukan protes secara baik baik pada kantor perwakilan Hindia Belanda di Yogyakarta. namun bukanya mendapat tanggapan, Belanda malah memasang patok patok melewati kuburan tersebut. Akhirnya Pangeran Diponegoro, Pangeran Mangkubumi, serta keluarganya mencabuti patok patok tersebut dan pada saat itulah Pangeran Diponegoro dicap sebagai Pemberontak oleh pemerintah. Sekelompok tentara mencoba menangkap Pangeran Diponegoro dan mangkubumi, pamannya di Desa Tegalredjo. Pada saat itu juga penduduk desa mencegat konvoi tentara itu dengan senjata demi melindungi Pangeran Diponegoro yang sudah dianggap orang suci di tempat itu. Perang pecah, dilangit membumbung warna merah, saat itulah pecah perang Jawa.

Perang Jawa (Perang DIponegoro)
Bulan Juli 1825, berita mengenai perang ini terdengar sampai ke telinga Gubernur Jendral Van Der Capellen. Ia terkejut karena selama ini Yogya terlihat seperti tempat yang aman, namun Pemberontakan pangeran Diponegoro itu menyulut peperangan diseluruh Yogyakarta bahkan Jawa Tengah. Pada saat itu jumlah pasukan Belanda di Jawa tidak cukup untuk meredam pergolakan yang terjadi.
Akhir tahun 1825 Jendral Hendrik De Kock menggantikan Jendral Van der Capellen yang pensiun dan pulang ke Belanda, tugas pertamanya adalah membersihkan perang dan menangkap Pangeran Diponegoro dan sekutunya. Untungnya Kesultanan Surakarta tidak ikut memberontak, Pakubuwono IV (Sultan Surakarta), Mangkunegoro, dan pangeran pangeran lainnya menyatakan kesetiaannya pada Gubermen Belanda.
Diponegoro pun melanjutkan pemberontakan dengan bantuan Sentot Alibasyah dan Kiai Mojo semakin menusuk pertahanan Belanda. Mereka mengajukan perang gerilya, mereka tahu bahwa pasukan Belanda tidak cukup untuk membendung pemberontakan mereka. Tahun 1826, Pangeran Diponegoro memenangkan pertempuran di Ngalengkong, karena kemenangannya membuat rakyat pribumi menjadi simpatik dan ikut berperang menghalau Belanda, Pangeran Diponegoro disebut sebagai Ratu Adil.
De kock mengalami kesulitan mengejar Pangeran ini, karena seranganya selalu dilakukan dalam sekala kecil dan mendadak. Untuk mengatasinya, De Kock membangun benteng benteng kecil yang selalu berhubungan. Dengan taktik ini membuat tentara Diponegoro jadi semakin terpojok dan kesulitan melawan. Bulan April 1826, Letnan Kolonel Cochius, bawahan De Kock menemukan cara untuk menangkap Diponegoro. Ia menawarkan 20.000 real pada siapa saja yang berhasil menangkap Diponegoro, tapi untungnya rakyat Indonesia tidak pernah mau menghianati atasanya, taktik itu tidak berhasil.

Akhir Perang
Tahun 1829, Mangkubumi, paman Diponegoro menyerah pada Belanda akibat tekanan dari prajurit prajuri Belanda yang semakin banyak didatangkan ke Jawa. Beberapa saat kemudian, Sentot Alibasyah juga menyerah di tangan Belanda. Kehilangan 2 jendral terbaiknya, Pangeran Diponegoro semakin terdesak, apalagi jumlah pasukannya kian menyusut.
Februari 1830, Diponegoro memutuskan untuk berunding dengan pihak Belanda. Sesuai kesepakatan, Diponegoro datang ke Magelang untuk berunding dengan De Kock. Namun ketika dia datang, pasukan De Kock menangkap Pangeran Diponegoro dengan tuduhan pemberontakan dan sebagai penjahat perang. Akhirnya diapun diasingkan ke Manado, tanggal 8 Januari 1855, Diponegoro wafat dan dikebumikan di Makasar.
Pada perang jawa ini Belanda menderita kerugian yang amat besar, konon Belanda kehilangan 15.000 pasukannya selama Perang Diponegoro.

0 komentar:

Posting Komentar