Welcome

Jumat, 06 September 2013

Dinasti Warman

Menurut situs Universitas Warmadewa, Dinasti Warman atau Warmadewa berasal dari Kerajaan Pallawa. Kata Warmadewa berasal dari bahasa India yang berarti  Dewa Pelindung atau dilindungi Dewa. Dinasti Warmadewa menyebar ke Indonesia pada abad ke-5, dan mendirikan banyak kerajaan. Kaundhiya, pengikut ajaran Maharesi Agastya mendirikan Dinasti Warmadewa di Funan. Kundungga mendirikan Dinasti Warmadewa di Kutai. Beberapa kerajaan lain yang dikuasai Dinasti Warmadewa antara lain Chenla (Angkor) di Kamboja, Lin Yi (Campa) di Vietnam, Kuntala dan Malayu di Swarnadwipa, Salakanegara dan Tarumanegara di Sunda, Kalingga dan Mataram di Jawa dan Singhadwara di Bali. Raja-raja terkenal dari dinasti adalah Dapunta Hyang Sri Jayanaga (Sriwijaya) dari Melayu, Dapunta Hyang Syailendra dari Jawa, Mulawarman dari Kutai, Purnawarman dari Tarumanegara, Adityawarman dari Dharmasyraya, Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi, Dharma Udayana Warmadewa dari Bali, Dharmawangsa Warmadewa dari Medang, Airlangga dari Kahuripan (Kediri).

Kata Warmadewa dalam bahasa Sanskerta berarti sama dengan ALexander dalam bahasa Yunani. Menurut Tun Sri Lanang dalam Sejarah Melayu (1612), Dinasti Warmadewa merupakan keturunan dari Alexander, raja Makduniah (Macedonia) Yunani yang pernah menguasai India pada abad IV SM. Menurut Sejarah Melayu, Dinasti Warmadewa turun ke Negeri Melayu, negeri yang berada di Sungai Melayu, hulu Sungai Tatang, di bukit Siguntang Mahameru, Palembang, tanah Andalas. Raja Warmadewa pertama yang mengambil alih kekuasaan dari Demang Lebar Daun di Palembang adalah Paduka Sri Tribuana, pangkal empat jurai rajakula di Asia Tenggara, yaitu Palembang, Majapahit, Semenanjung Melayu dan Minangkabau. Alexander dalam bahasa Yunani berarti pria yang melindungi atau pria yang dilindungi, sementara Warmadewa dalam bahasa Sansekerta berarti Dewa pelindung atau dilindungi dewa.
Wangsa Warmadewa merupakan wangsa yang memiliki campuran darah Yawana (Yunani), Pallawa (Persia) dan Shaka. Pada awal tarikh Masehi, wangsa ini terdesak oleh bangsa Kushan (Mongol) dan berpindah ke selatan mendirikan Kerajaan Pallawa. Pada abad ke-4 M, Samudra Gupta (335 - 375) menaklukkan kerajaan Pallawa. Maka beremigrasilah keluarga Warmadewa ke Asia Tenggara yakni ke Funan, Suwarnadwipa, Jawadwipa, Balidwipa dan Kutai.
Di Jawa, Wangsa Warmadewa yang dikenal juga dengan wangsa Syailendra senantiasa bersaing dengan Wangsa Sanjaya. Setelah Sri Wijaya (Dapunta Hyang Sri Jayanaga) menaklukkan Sunda kemudian mendirikan wangsa Syailendra di Jawa Tengah. Rakai Pikatan berhasil mengalahkan Balaputradewa yang terpaksa kembali ke Swarnadwipa. Persaingan kemudian dilanjutkan oleh keluarga Warmadewa Bali.
Pendiri Warmadewa Bali, Dalem Sri Kesari Warmadewa menaklukkan Sri Ugrasena (915-942) raja Singhamandawa yang berkaitan dengan Kanuruhan dan Mataram (Sanjayawangsa). Sri Kesari yang menyatakan diri sebagai raja adipati (wakil Kemaharajaan Warmadewa yang berpusat di Swarnadwipa untuk wilayah Bali) berhasil menguasai Makassar, Sumbawa, Sasak dan Balambangan.
Dalam catatan-catatan Cina disebutkan bahwa dalam kerajaan-kerajaan di Laut Selatan yakni Kamboja, Melayu dan Jawa masyarakatnya memiliki adat istiadat dan agama yang sama, yakni Budha Mahayana. Tetapi hidup berdampingan dengan waktu yang lama dengan Wangsa Sanjaya yang Hindu membuat pandangan para dinasti Warmadewa berbeda. Di Bali misalnya, pada masa pemerintahan Udayana dan Mahendradatta datang Mpu Kuturan saudara Mpu Bharada. Beliau menyatukan sembilan sekte agama Hindu di Bali menjadi Tri Murti dan menyebutnya agama Siwa-Budha. Sebagaimana kita lihat di Jawa, yang memberikan toleransi kepada penganut Hindu, maka di Bali, penguasa dinasti Warmadewa  Sang Ratu Aji Tabanendra Warmadewa(955-967) yang juga bergelar Sri Candrabhaya Singhawarmadewa atau Indra Jayasingha Warmadewa yang memerintah bersama istrinya Sang Ratu Luhur Sri Subhadrika Warmadewi memperkenankan pendeta Siwa mendirikan pertapaan di  Air Madalu, tempat pemakaman Sang Ratu Ugrasena. Semangat yang sama juga kita lihat pada Adityawarman di Dharmasyraya yang berusaha memberikan tempat bagi para pendeta Hindu.

Kerajaan Salakanagara (Kerajaan tertua di Nusantara)

Tahukah anda bahwa menurut buku buku sejarah Kerajaan tertua di nusantara adalah Kutai. Namun sebuah penemuan naskah sejarah merubah teori tersebut. Dikatakan bahwa kerajaan tertua di nusantara adalah Salakanegara.
Salakanagara, berdasarkan Naskah Wangsakerta - Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara (yang disusun sebuah panitia dengan ketuanya Pangeran Wangsakerta) diperkirakan merupakan kerajaan paling awal yang ada di Nusantara.
Nama ahli dan sejarawan yang membuktikan bahwa tatar Banten memiliki nilai-nilai sejarah yang tinggi, antara lain adalah Husein Djajadiningrat, Tb. H. Achmad, Hasan Mu’arif Ambary, Halwany Michrob dan lain-lainnya. Banyak sudah temuan-temuan mereka disusun dalam tulisan-tulisan, ulasan-ulasan maupun dalam buku. Belum lagi nama-nama seperti John Miksic, Takashi, Atja, Saleh Danasasmita, Yoseph Iskandar, Claude Guillot, Ayatrohaedi, Wishnu Handoko dan lain-lain yang menambah wawasan mengenai Banten menjadi tambah luas dan terbuka dengan karya-karyanya dibuat baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris.

Pendiri Salakanagara, Dewawarman adalah duta keliling, pedagang sekaligus perantau dari Pallawa, Bharata (India) yang akhirnya menetap karena menikah dengan puteri penghulu setempat, sedangkan pendiri Tarumanagara adalah Maharesi Jayasingawarman, pengungsi dari wilayah Calankayana, Bharata karena daerahnya dikuasai oleh kerajaan lain. Sementara Kutai didirikan oleh pengungsi dari Magada, Bharata setelah daerahnya juga dikuasai oleh kerajaan lain.
Tokoh awal yang berkuasa di sini adalah Aki Tirem. Konon, kota inilah yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150, terletak di daerah Teluk Lada Pandeglang. Adalah Aki Tirem, penghulu atau penguasa kampung setempat yang akhirnya menjadi mertua Dewawarman ketika puteri Sang Aki Luhur Mulya bernama Dewi Pwahaci Larasati diperisteri oleh Dewawarman. Hal ini membuat semua pengikut dan pasukan Dewawarman menikah dengan wanita setempat dan tak ingin kembali ke kampung halamannya.
Ketika Aki Tirem meninggal, Dewawarman menerima tongkat kekuasaan. Tahun 130 Masehi ia kemudian mendirikan sebuah kerajaan dengan nama Salakanagara (Negeri Perak) beribukota di Rajatapura. Ia menjadi raja pertama dengan gelar Prabu Darmalokapala Dewawarman Aji Raksa Gapura Sagara. Beberapa kerajaan kecil di sekitarnya menjadi daerah kekuasaannya, antara lain Kerajaan Agnynusa (Negeri Api) yang berada di Pulau Krakatau.
Rajatapura adalah ibukota Salakanagara yang hingga tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-Raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII). Salakanagara berdiri hanya selama 232 tahun, tepatnya dari tahun 130 Masehi hingga tahun 362 Masehi. Raja Dewawarman I sendiri hanya berkuasa selama 38 tahun dan digantikan anaknya yang menjadi Raja Dewawarman II dengan gelar Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra. Prabu Dharmawirya tercatat sebagai Raja Dewawarman VIII atau raja Salakanagara terakhir hingga tahun 363 karena sejak itu Salakanagara telah menjadi kerajaan yang berada di bawah kekuasaan Tarumanagara yang didirikan tahun 358 Masehi oleh Maharesi yang berasal dari Calankayana, India bernama Jayasinghawarman. Pada masa kekuasaan Dewawarman VIII, keadaan ekonomi penduduknya sangat baik, makmur dan sentosa, sedangkan kehidupan beragama sangat harmonis.
Sementara Jayasinghawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Calankayana di India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Maurya.
Di kemudian hari setelah Jayasinghawarman mendirikan Tarumanagara, pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumanagara. Salakanagara kemudian berubah menjadi Kerajaan Daerah.

Adapun Salakanagara pendapatanya dari hasil laut, penanaman lada, peternakan, hasil hutan dan pertambangan besi, tembaga, mas dan perak. Dengan adanya aneka ragam pendapatan tersebut, penguasa Salakanagara dapat memberikan kemakmuran bagi rakyatnya.
          Seperti yang diutarakan dimuka, bahwa Pangeran Dewawarman dan rombonganya mencari vazal bagi kerajaan asalnya, dengan demikian Salakanagara berada di bawah pengaruh Calankayana di India. Sebagai Vazal, Salakanagara memberikan upeti tahunan kepada Calankayana dan kerajaan induk itu mengirimkan kain sutra, permadani, senjata dan kapal laut. Selain dari pada itu, dikirimkan pula para pendeta hindu ke Salakanagara untuk mendidik masyarakat dalam agama Hindu, sehingga seterusnya agama Hindu menjadi agama mayoritas penduduk Salakanagara menggantikan kepercayaan semula. 
          pada tahun 150, seorang pengembara yaitu Ptolemeus tiba di Salakanagara bersama dengan rombonganya pedagang dari India menetap di purasaba Rajatapura. Ptolemeus sangat mengagumi Salakanagara yang disebutya Argyre (kota perak).
         Keberhasilanya Dewawarman dan permaisurnya dalam membesarkan Salakanagara dan membawa rakyat Salakanagara pada kemakmuran dan kesejahteraan, membuat pasangan penguasa tersebut sangat dihormati rakyatnya, dan dianggap sebagai penjelmaan Dewa Wisnu (Dewa penjaga dan pelindung manusia ), dan permaisurinya dianggap sebagai jelmaan Dewi Sri (istri Dewa Wisnu), Dewa wanita pelindung tanaman , ternak dan keseburan.
        Salakanagara berlangsung dari tahun 130 sampai tahun 358, di bawah pemerintahan Dewawarman I sampai VIII. Adapun raja terakhir, yaitu Dewawarman VIII tidak mempunyai anak laki-laki, hanya memiliki anak perempuan saja, sehingga tidak memiliki putra mahkota (penerus tahta). Pada masa pemerintahan Dewawarman VIII, datanglah seorang maharesi muda dari Calankayana, yang memberitahukan pada Dewawarman VIII bahwa Calankayana telah ditaklukan oleh kerajaan Magada di bawah pemerintahan Maharaja Samudragupta. Pada masa itu, politik ekspansi maharaja samudragupta berhasil menaklukan hampir seluruh kerajaan di India. Untuk Seterusnya Maharesi muda bernama Jayasingawarman itu tinggal di purasaba Rajatapura dan akhirnya menikah dengan putri Dewawarman VIII. Karena kecakapan dan keperwiraanya, Jayasingawarman diangkat sebagai penerus tahta Salakanagara.
        Sementara itu, Maharaja Samudragupta makin meluskan wilayah Magada keluar India. Diantaranya mencari daerah jajahan Calankayana atau daerah pengaruhnya. Untuk menghindari adanya penyerbuan Magada mengingat sangat kuatnya balatentara kerajaan itu, Dewawarman VIII memerintahkan kepada menantunya untuk mendirikan pusat pemerintahan baru (di daerah kecamatan Tarumajaya, Muaragembong, Sukawangi dan Cabangbungin kabupaten Bekasi sekarang), usaha Jayasingawarman berhasil, kemudian Dewawarman VIII menyerahkan tahtanya pada Jayasingawarman. Seterusnya Salakanagara berganti nama menjadi Tarumanagara (358)