PADA 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya. Di Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tercatat, hari kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945, dan bukan 27 Desember 1949, hari kemerdekaan yang diakui de jure oleh Pemerintah Belanda.
Dalam upaya untuk menjajah kembali Indonesia, Belanda mengerahkan angkatan perangnya dan melakukan agresi militer terhadap Republik Indonesia, satu negara merdeka dan berdaulat. Tentara Belanda tercatat dua kali melancarkan serangan besar-besaran, yakni pada 21 Juli 1947 dan 19 Desember 1948.
Untuk mengecoh opini dunia internasional, AKSI MILITER ini “dikemas” sebagai AKSI POLISIONIL, untuk memulihkan kembali “ketertiban dan keamanan, dan membasmi para “perusuh keamanan, perampok dan penjahat”. Yang mereka maksud sebagai “perusuh keamanan, perampok dan penjahat” adalah Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan para pahlawan pejuang kemerdekaan Republik Indonesia, yang kini kebanyakan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di seluruh Indonesia.
Selama berlangsungnya agresi militer antara tahun 1945 hingga 1950, tentara Belanda telah melakukan kejahatan perang (war crimes), kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity) dan berbagai pelanggaran HAM berat serta perkosaan terhadap perempuan Indonesia.
Berbagai kejahatan atas kemanusiaan dan pelanggaran HAM berat yang telah dilakukan oleh tentara Belanda, samasekali luput dari perhatian dunia, padahal kekejaman yang dilakukan oleh tentara Belanda, tidak kalah kejamnya seperti yang dilakukan oleh tentara Jerman dan Jepang selama Perang Dunia II.
Bukan hanya di Sulawesi Selatan saja tentara Belanda melakukan pembantaian massal terhadap penduduk sipil, melainkan juga di daerah-daerah lain di Indonesia, seperti di desa Rawagede, dekat Karawang, Jawa Barat.
Pada 9 Desember 1947, sehari setelah dimulainya perundingan Renville, tentara Belanda dengan kejam membantai 431 penduduk desa Rawagede, hanya karena mencari seorang pejuang Indonesia, Kapten TNI Lukas Kustario.
Sebagaimana juga dengan pembantaian massal di Sulawesi Selatan di bawah komando Kapten Raymond P.P. Westerling, komandan tentara dan para prajuritnya yang melakukan pembantaian di desa Rawagede demi “kepentingan negara yang lebih tinggi”, demikian dilaporkan oleh Pemerintah Belanda kepada Parlemen Belanda dalam DE EXCESSENNOTA pada tahun 1969 tidak ada seorangpun yang dimajukan ke pengadilan militer Belanda, apalagi dimajukan ke tribunal internasional, seperti yang dilakukan terhadap penjahat perang Jerman setelah berakhirnya Perang Dunia II.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) menyelenggarakan seminar dengan judul:
“INDONESIA MENGGUGAT”
di Perpustakaan Nasional RI pada hari Kamis, 9 Agustus 2007, pukul 08.30 – 13.00
Welcome
Rabu, 10 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar